Oleh: Irfan
Ansori*
18 Januari, 2005.
Langkahku
semakin kencang kala matahari mulai pulang kandang. Nafasku berlipat cepat,
berulang-ulang, tak berirama. Mataku mulai lelah, semakin memerah. Lebih baik
sebenarnya jika aku memejamkan mata, namun tentu aku takkan bisa memandang arah.
Di seberang jalan,
aku melihat beberapa mata manusia berbaris, menatapku keheranan. Mereka
memanggil, meski takkan sempat jika harus menghalangi langkahku. Aku terus
melaju.
Rentetan otot
bagian pahaku mulai berontak. Kakiku menegang. Untuk menahan itu, aku memilih
memejamkan mata. Sampai aku tak sempat membuka mataku kembali, tubuhku sudah
tergeletak, terbujur kaku di tanah hitam. Langkahku tersungkur setelah kakiku
terkait beberapa kayu di depanku. Tanganku terluka, merah bersimbah darah.
“Semua salahku,
mengapa aku begitu pengecut menjadi seorang laki-laki,” hujatku. “Seharusnya,
aku tidak berlari seperti ini, Fitri. Maafkan aku!”. Tanganku mengepal dan
meninju bumi hingga tiba goncangan yang membuat gempa di sekitarku. Air mataku
meleleh, perlahan, menetes, membasahi bumi.
Dan,
“Aaarrrggggghhhhhhhh!!!!” Pekikku.
***
30 Juni, 2015
Setelah Lima
Bulan pasca tersematnya gelar sarjana pada ujung namaku, aku masih saja
menganggur. Dewasa ini, menjadi sarjana tak menjamin memiliki kehidupan lebih
layak.
Aku ingat saat
pertama kali aku mengikuti tes wawancara kerja, pada sebuah perusahaan media
lokal. Giliranku, aku berhadapan dengan seorang lelaki paruh baya. Nampaknya
lebih tua dari usia bapakku. Dia sempat tercengang melihat nilai IPK-ku. Rata-rata para
orang tua usia 50-an memang heran mengapa mahasiswa saat ini, begitu mudah
mendapatkan IPK tinggi.
“Nak, banyak
yang bekerja di sini adalah ber-IPK rendah. IPK tinggi rata-rata justru payah saat
diandalkan bekerja,” ucapnya, sembari agak meremas kertas curriculum vitae
milikku.
Saat itu aku
memang tidak terlalu berambisi untuk bekerja sebagai wartawan. Hanya sekedar
mengisi waktu nganggurku saja. Aku pun ditolak. Tapi aku pikir
perkataan bapak tadi ada benarnya. Banyak dari mahasiswa IPK tinggi saat ini
justru tak berpenghasilan layak. Pada masa menjadi mahasiswa, dia hanya sibuk
untuk memikirkan buku, tugas, nilai tanpa mengembangkan soft skill.
Setelah keluar dari dunia kampus, mereka gelagapan. Bekerja penuh gengsi.
“Aku tuh
lagi membicarakan diriku sendiri,” ucapku.
Aku kesal
karena dianggap sedang ghibah.
“Alah, tetap aja pahala puasamu abis Ma.”
Aku tak
menjawab lagi.
Aku memilih
meraih laptop dan mouse. Memijit tombol start. Sembari menunggu
proses booting. Aku berusaha mencerna kembali kata kata itu.
Selama ini, gelar
dan prestasi yang kuraih justru membuatku terpenjara gengsi, jika harus melamar
kerja bergaji serta berstatus sosial rendah. Pilihanku hanya ada dua: karyawan bergaji
tinggi atau berwirausaha.
“Woi,
khusyuk banget lu Rama. Kamu marah sama aku toh,” kejutnya, sembari
menepuk pundakku.
Dia Ujang,
teman satu kosku. Meski sama-sama berasal dari tanah Pasundan, namun perkenalan
kami justru terjadi di kereta saat perjalanan menuju Solo. Saat itu kami
sama-sama pertama kali ke Jawa. Tak pandai pula berbahasa Jawa. Aku sangat
bersyukur ada teman senasib.
Seperti riwayat
pada umumnya. Jika terdapat orang Sunda yang sama-sama berada di tanah
perantauan, akan berusaha menganggap keluarga satu sama lain. Sampai akhirnya,
kami memilih untuk menghuni kos yang sama, meski kuliah berbeda jurusan.
Meski sampai
saat ini, aku menilai, di balik sosoknya yang selalu ceria, Ujang memiliki
pribadi yang tertutup. Hanya sedikit tentang kehidupannya yang aku ketahui. Sekedar
tahu bahwa dia berasal dari Sukabumi, namun sempat beberapa tahun sekolah SMP
tetanggaku, SMP N 43 Tasikmalaya. Namun pindah kembali ke Sukabumi.
Tapi toh
selama aku bersekolah, aku merasa tak pernah bertemu dengan dia. Padahal SMP
kami sangat berdekatan. Sempat pula aku
tanyakan, mengapa orang tuanya tak pernah menengok dan menghubungi, namun dia
selalu mengalihkan pembicaraan.
“Aku udah biasa
sendirian kok, Ma, dari kecil.”
Kali ini, sembari
mencengkram pundak kananku, Ujang mengamati arah pandanganku, pada laptop.
Menatap secara serius. Ujang berusaha mencuri sesuatu yang menyebabkan aku masih
terdiam. Tak menjawab pertanyaan darinya.
“Ma. Kok
bisa sih kamu kaya gini terus,” ungkapnya, mencoba prihatin.
Aku masih terdiam.
Seolah tak ingin menyadari kehadiran Ujang. Melihat diriku tak
merespon kembali, nampaknya Ujang semakin bosan. Dia memilih untuk menghindar,
berjalan menyusuri ruang tamu, menuju kamar ‘bobotoh’ miliknya.
Aku masih terus terdiam.
Mematung lebih tepatnya.
Saat itu, tak
ada kabar kematian maupun kecelakaan. Tak ada kehilangan barang-barang berharga
meski aku sering teledor menyimpan. Tak ada pesan ancaman yang membuat diriku ketakutan. Hanya, peristiwa
yang sangat menghentak dan menyakitkan diriku saat itu, tidak lain adalah
kalimat “your account has banned”.
“Siaaallll..
Sia-sia sudah kerja kerasku berbulan-bulan ini!”
Google Adsense
mencabut akun milikku. Padahal untuk mendapatkan akun tersebut, aku sudah
mengobankan banyak waktu. Semuanya, bahkan keluarga. Kedua tanganku
menghentak keyboard yang ada di depanku. Menekan keras deretan huruf atasnya.
Menghimpit mereka dengan sangat kencang, sampai beberapa huruf terkelupas dari kandangnya. Namun, sebelum
aku melemparkan setumpukan mesin pembuat huruf tadi ke tembok, tangan Ujang
segera menahanku.
“Ma.. Rama, Istigfar
Ma, Istigfar...” ucapan yang sempat menghentikan tingkah bodohku, meski tetap
saja tak kuhiraukan saja dia.
Aku lebih
memilih menundukan kepala. Mengapit kedua kakiku dengan pelukan tangan. Saat
itu, aku merasa malu dan benar-benar hancur. Selalu terdapat kata-kata yang
terus membayangi.
Akuilah Rama. Saat
ini kamu adalah lulusan terbaik yang paling memalukan. Sampai saat ini, kau
hanya menjadi pengangguran. Payah dan selalu gagal dalam usaha.
Aku memejamkan
mata. Tidak untuk menangis. Bukan sikap seorang lelaki sejati. Pejaman mata
yang membutakan pandangan. Aku melayang, terus melayang. Saat itu, aku berusaha
mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku merasakan kegagalan seperti ini. Ujang
masih mengawasiku cukup dekat.
Ya, aku harus
mengingat. Aku harus mengingat lagi. Kapan aku merasakan kehancuran, dan
menangis untuk terakhir kali. Aku membutuhkan imajinasi itu, agar aku mengerti.
Caraku untuk selalu bangkit kembali.
“Jang, bisa kamu
pergi dulu dari sini!” pintaku, tegas. Meski wajahku tetap tak menoleh padanya.
“Yaudah, tapi kalau
kamu ada butuh apa. Panggil aja.”
Sesaat setelah
itu terdengar suara hentakkan pintu kamar. Aku tahu dia agak kesal. Ujang
memilih untuk menghindariku lagi.
***
Sejak kecil,
aku sudah sering menuliskan catatan harian. Ingat! catatan harian, bukan diary.
Sempat saat SMP aku diolok-olok menjadi lelaki setengah matang, karena aku
pandai menulis diary. Itulah alasan mengapa aku tak mau catatan harianku, disebut
diary.
Tanganku
merogoh loker meja. Seingatku aku menyimpan catatan lamaku itu di sana. Juga
tentunya beberapa foto masa kecilku. Kejadian yang
pasti kuingat adalah, kejadian paling memalukan pada saat kelas III SD. Saat
kenaikan kelas berlangsung, sekolah seperti biasa selalu mengadakan samen.
Saat itu, aku tak terlalu paham dengan peringat.
Saat guruku
memanggil beberapa temanku sebagai juara 1,2 dan 3, namaku tak ada. Namun, aku terlampau
terobsesi membawa sebuah piala.“Juara 1 Berhak
untuk piala.” Meski namaku
tak disebut, aku tetap memaksa naik ke panggung. Beberapa guru yang melihat menyuruhku
untuk turun. Aku menggelengkan kepala.
Melalui michropone,
aku mendengar beberapa dari guru memanggil ibuku, untuk membawaku pergi dari
atas panggung. Ibuku sedang tak ada. Aku justru
semakin berontak. Aku berdiri
semakin paling depan, terdepan. Langsung berhadapan dengan pak Kades berkumis
lebat. Aku tak ingin
turun tanpa piala! Titik.
Semua penonton bergemuruh,
terkikik-kikik melihat tingkah bodohku. Untungnya, pak Kades dengan baik hati
memberi kode kepada para guru untuk membiarkan diriku mendapatkan itu. Aku
berhasil membawa piala pertamaku. Piala yang membuat orang tuaku malu, memiliki
anak sepertiku. Sejak saat itu,
aku belajar lebih giat. Sampai aku benar-benar berprestasi. Benar-benar Juara,
dengan piala juara 1 yang berhak untukku. Berlanjut sampai pada tingkat
perguruan tinggi, aku mendapatkan nilai tertinggi dari ribuan mahasiswa.
Sempat aku tak
meraih peringkat terbaik, pada saat SMP. Aku dikalahkan oleh seorang wanita
satu kelas. Namanya, Fitri. Dia wanita baik dan pandai bergaul. Aku masih ingat
bagaimana dia sangat pandai memakai hijab, dia terlihat begitu cantik. Paling
cantik satu kelas. Sedang
menurutku, hal yang paling menarik darinya sekaligus membuat cowok lain
mengurungkan niat menaksir dia; Fitri adalah wanita pemberani. Aku menaruh
hati, padanya.
Aku sempat
menyatakan cinta untuknya, namun ditolak. Dia malah menceramahiku. Saat itu, aku
sempat menghujat dia sebagai terlalu sok alim. Aku benar-benar sakit hati
dengannya. Aku merasa ingin menghacurkannya.
Sampai
mengingat hal itu....
Kepalaku
tiba-tiba merasa pusing. Saat memijat kepala, aku terdiam sejenak melihat bekas
luka di tanganku. Seakan-akan aku dipaksa untuk mengingat sesuatu.
Mengingat
peristiwa itu...
***
Itulah saat aku
melakukan dosa yang takkan pernah termaafkan. Baik oleh manusia maupun Tuhan.
Wajar jika aku pantas dikutuk dengan kegagalan.
Saat perjalanan
pulang sekolah, aku dipalak oleh tiga orang pemuda. Seingatku, salah satu
mereka sudah terlihat paruh baya. Saat itu, dia sedang sangat mabuk berat. Mereka
memaksaku memberikan uang. Aku sangat takut, namun memang sedang tak membawa
uang. Mereka mengirimkan tiga bogem mentah tepat di kedua pipiku. Sakit sekali rasanya.
Saat itu, bahkan aku diancam akan dibunuh.
Suasana tempat
itu sepi. Tak ada orang yang berlalu lalang. Kecuali Fitri,
dia kebetulan lewat dan melihat kejadian itu. Dan tanpa kusangka, itulah
saat-saat terakhir aku melihatnya.
Saat aku diajari
tentang ketulusan menolong teman dan orang-orang yang kita cintai. Bahkan jika
nyawa adalah taruhannya.
Fitri melemparkan
sebuah batu besar kepada tiga pemuda tersebut. Kedua pemuda lain sempat
menghindar, namun tidak dengan lelaki paruh baya yang sedang mabuk berat itu.
Dia terbanting, dan bersimbah darah.
“Goblooooog,
diberik siah ku aing.” Aku akan mengejar kamu!
Segera mereka
melepaskanku, beralih mengejar Fitri. Saat itu, aku melihat Fitri tersungkur. Sebelum
sempat melawan, para pemuda menangkapnya dan menamparnya. Terdengar sekilas
lolongan Fitri, namun aku menutup telinga. Fitri pingsan. Pemuda mabuk
itu nampaknya terangsang dengan kemolekan dan kecantikan Fitri. Dia ingin
merasakan tubuhnya. Dia menyuruh kedua pemuda itu membawa Fitri. Ke tempat
sepi. Sedangkan aku,
lebih memilih bersembunyi.
Salah satu dari
ketiga orang tersebut sempat memastikan, bahwa aku tak melihat Fitri akan
dibawa oleh mereka. Dia mungkin sudah kebelet birahi, sehingga ceroboh
tak mengecek sampai ke tempat persembunyianku. Akulah satu-satunya
saksi mata saat kejadian itu.
Jantungku
berdebar berlipat-lipat. Tanganku bergetar, tersetrum. Aku tak bisa
mengendalikan cucuran keringan yang mengalir deras di tubuhku. Juga air mata
kecengengan, mulai meleleh dari kedua kantung mataku. Aku panik,
kebingungan.
Aku berhutang
budi kepada Fitri, karena dia telah menolongku. Namun, jika aku berteriak,
warga akan berdatangan dan menyelamatkan Fitri. Tapi, pemuda tersebut pasti bisa
kabur, dan mencariku lagi. Mungkin saat itu mereka akan benar-benar membunuhku.
“Tapi, aku
benar-benar takut, mereka membunuhku.,” gumamku.
Jika aku
berdiam. Aku bisa berlari menghindari mereka. Aku aman. Aku dapat bisa membalas
sakit hatiku. Sejak awal, bukankah aku sudah berniat membuatnya hancur, karena
dia menolakku dan belagak alim. Dan paling terpenting adalah, aku tak memiliki
lagi saingan di kelasku.
Aku memutuskan
untuk berlari, sekencang-kencangnya. Namun, pada
pelarian itu, sebuah bayangan memaksa hadir dalam pikiran:
Aku selalu terbayang
wajah Fitri. Dia yang meronta-ronta saat diperkosa oleh ketiga pemuda tersebut.
Fitri masa depannya hancur begitu saja, karena berusaha menyelamatkanku. Kenapa saat itu
dia menolongku. Seandainya dia tidak berani untuk melemparkan batu dan lebih
memilih berteriak. Aku yakin dia selamat.
Atau, seandainya saat itu, aku memilih berteriak. Aku pasti menyelamatkannya. Kenapa aku harus berlari. Sampai aku tak menyadari banyak orang di sekitarku. Sampai aku terjatuh tersungkur. Orang-orang menolongku lagi, tapi aku tak sempat meminta warga menolong Fitri. Mengapa aku hanya berfikir tentang sakit hati dan balas dendam. Fitri tak ada. Dan, demi juara 1 aku menghancurkannya.
Atau, seandainya saat itu, aku memilih berteriak. Aku pasti menyelamatkannya. Kenapa aku harus berlari. Sampai aku tak menyadari banyak orang di sekitarku. Sampai aku terjatuh tersungkur. Orang-orang menolongku lagi, tapi aku tak sempat meminta warga menolong Fitri. Mengapa aku hanya berfikir tentang sakit hati dan balas dendam. Fitri tak ada. Dan, demi juara 1 aku menghancurkannya.
Dimana Fitri,
saat ini? Apa kabarnya?
“Arrgghhhhhhh!
Bodohnya aku saat itu.”
***
Sejak saat itu,
aku memutuskan untuk terus berusaha mencari Fitri. Aku harus meminta maaf. Aku
yakin, penerimaan maaf darinyalah yang akan melapangkan kelancaran masa
depanku. Kepada pak
Imron, aku bertanya tentang jejak terakhir dia di sekolah. Sebagai walikelas
saat itu, aku harap dia tahu banyak. Dia memberi informasi bahwa, Fitri pernah
berpamitan ke rumahnya untuk pindah sekolah ke Kalimantan. Sayang, pak Imron
tak mencatat nomor kontaknya saat itu.
Sialnya, tak
ada seorang pun teman sekelas yang tahu dimana dia tinggal saat itu. Dari temanku
Fafa, aku mendapatkan cerita aneh. Fafa berkisah, bahwa selama itu Fitri memang
tak memiliki tempat tinggal tetap. Dia menitip menginap di rumah seorang nenek. Namun, dia
mendengar, nenek tersebut sudah meninggal sekitar 8 tahun lalu. Kabarnya, nenek
tersebut terjatuh ke jurang samping rumahnya, karena sering dihantui oleh sosok
wanita remaja yang pernah tinggal dengan rumahnya: Fitri.
“Alah, aku gak
akan percaya kaya gituan Fa,” ucapku.
***
Sebulan aku
mencari keberadaan Fitri. Namun tak menemukan hasil. Aku pasrah. Namun, seketika
Ujang datang mencariku untuk berpamitan. Katanya, dia harus pergi saat itu
pula. Ayahnya sedang sakit parah dan butuh biaya banyak. Dia harus pulang dan
membawa biaya.
“Bentar Jang.
Sebelum kamu pergi tolonglah cerita dulu sebentar.” Aku kemudian menyuruhnya
duduk berhadapan denganku.
“Selama ini, kamu
memang selalu tertutup sama aku. Tapi tolong Jang, kali ini, ijinkan aku aku
bisa membantu kamu,” ucapku.
Tak kusangka,
seketika dia meneteskan air mata. Ujang bercerita,
dibalik ketertutupan sikapnya kepadaku, ternyata dia ingin menyembunyikan
sesuatu. Sebuah harkat martabat tentang keluarganya. Dia bercerita
bahwa ayahnya adalah mantan pencuri. Akhir-akhir ini, dia selalu dihantui arwah
seorang wanita remaja, sekitar SMP. Ayahnya selalu berteriak-teriak tak jelas.
Mengigatu sendiri. Ayahnya sudah divonis gila.
Namun, sesaat
sebelum ayahnya bertingkah aneh seperti itu, dia mengaku bahwa, dahulu saat
rumahnya pindah ke Tasikmalaya, ayahnya pernah memperkosa wanita remaja SMP. Katanya
berasal dari sekolahku. Kejadian itu
sekitar 10 tahun lalu. Saat itu dia sedang mabuk sehingga tak mengingat jelas
wajahnya. Ditambah lagi, setelah itu mereka langsung pindah lagi ke Sukabumi. Adapun saat ini, Ujang
sebenarnya sangat membutuhkan pertolonganku, namun mengurungkan niatnya, karena
melihat diriku juga seperti sedang tertimpa banyak masalah.
“Terutama
menemukan informasi wanita yang sempat diperkosa oleh ayahku, Rama. Barangkali,
kamu sempat mengenal wanita itu, bapakku ingin sekali meminta maaf kepadanya.”
Saat itu, aku
langsung teringat Fitri. Teringat semua peristiwa itu.
Remuk rasanya
hatiku. Aliran darahku berhenti. Mulutku menganga. Aku mematung. Sedangkan
Ujang masih menangis merengek memintaku menolongnya.
Dia tidak tahu.
Jika dia memaksaku untuk bertemu ayahnya, aku tak segan-segan akan mencekiknya,
sampai mati. Tapi, Ujang temanku. Dialah orang paling dekat denganku. Dia yang
sering membantuku selama ini. Tapi kenapa
harus dia yang terlahir dari anak seorang keji yang menyebabkan semuanya
hancur. Ayahnya terpaksa memalakku karena butuh untuk membeli minuman. Sayang,
Fitri terlalu berani untuk membelaku. Dia harus rela terenggut masa depannya,
karenaku.
Untungnya, saat
ini adalah bulan Ramadan. Rasa lapar dan haus telah menekan hawa nafsuku. Rasa
Nafsu yang bila terlampiaskan, akan menjadikan diriku lebih hancur lagi. Kali
ini, aku harus mengakui, semuanya tetap salahku. Aku tak ingin
mengulangi lagi kesalahanku. Ujang tidak salah.
Maka aku
putuskan! Aku akan tetap membantu dan membela Ujang. Meski dia anak dari Ayah
yang menghancurkan orang yang kucintai. Meski harus kukorbankan nyawaku
untuknya. Aku berani.
“Ya, semua
sudah jelas sekarang. Aku bisa bantu ayahmu waras kembali. Tapi nunggu buka aja
dulu ya,” ucapku, tegas!
Ujang
terheran-heran dengan sikapku.
Surakarta, Juli,
2015
*Mahasiswa
Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Lahir di Tasikmalaya,
18 Januari 1994. Saat ini berprofesi sebagai blogger.
😎 Bergaya Sambil Mencari Pahala, Kenapa Tidak 😎
BalasHapus.
Dengan Kaos Dakwah dari Gootick Apparel yang akan membuat penampilan teman-teman pasti berbeda dari yang lain 😍😍😍
.
Dengan bahan Material dari Catton Bamboo yang memiliki kualitas tidak perlu di ragukan dan Sablon yang Rapih dan Kuat. Baca Terlebih dahulu kelebihan dari Cotton Bamboo ==>> https://bit.ly/39lCBC7 <<==
Tersedia 5 tulisan bermakna Islami dan pilihan warna yang pastinya cocok di pakai untuk kegiatan sehari-hari yang akan terlihat Elegan dan Simple, Rapih dan Pastinya Keren.
.
"Promo HEMAT" Harga Normal Rp.100 K dan dapatkan potongan diskon harga sebesar Rp. 30 K.
.
Untuk informasi pemesanan silahkan klik link dibawah ini, untuk di arahk
.
Kaos Dakwah Terbaru
Testimoni di Instagram: #gootickapparel
.
Tunggu apalagi Langsung Ambil Promonya selagi masih Tersedia
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Mungkin Kau Sering Lupa Kebaikan Istrimu
"Selamat siang Bos 😃
BalasHapusMohon maaf mengganggu bos ,
apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)
Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365
terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"