Oleh: Irfan Ansori*
Tulisan ini bukan untuk memperkeruh persoalan, hanya saja memang
opini yang berkembang di masyarakat harus seimbang seiring dengan munculnya
artikel-artikel ‘sampah’ serta memperkeruh suasana. Tentunya, artikel yang akan
kami muncul sebagai reaksi atas berbagai gugatan tentang jatidiri Muhammadiyah.
Pemelintiran sejarah tentang KH. Ahmad Dahlan sampai dengan tudingan bahwa
Muhammadiyah sekarang bukanlah Muhammadiyah. Melainkan justru NU. "Akuilah!" godanya.
Pastinya kita lebih memilih agar kedua ormas Islam ini berada pada
jalur yang benar: bekerjasama untuk mengurus umat, dakwah Islam yang semakin
meluas, serta menciptakan perdamaian. Namun, hal yang sangat menjengkelkan
adalah ketika ada sebagian oknum dari kita sibuk untuk ‘nguri-nguri’ hal-hal
yang justru sensitif namun dalam perspektif yang sangat subjektif. Sangat
disayangkan, memang.
Tentu yang paling kentara saat ini adalah, klaim bahwa Ahmad Dahlan
adalah seorang NU. Lebih tepatnya, mengamalkan ajaran fiqh sebagaimana NU:
tarawih 23 rakaat, tahlilah, dan sebagainya. Mereka lupa bahwa di balik itu
terdapat premis-premis umum yang lebih penting, fundamental, serta berbeda
dengan Nahdlatul Ulama.
Dalam persoalan fikih, Muhammadiyah harus diakui lebih dinamis
daripada NU. Muhamamadiyah tidak segan untuk bertentangan dengan para
pendahulunya karena hal ini berakitan dengan permasalahan fiqih. Sekali lagi,
ini hanya persoalan fiqh, sebagaimana hukum yang berlaku bahwa fiqh itu produk ulama
yang tentunya juga tidak harus kita menaatinya sepanjang waktu. Jika terjadi
perubahan, maka tidak menutup kemungkinan fiqh dapat berubah. Kita tentunya
mengenal ‘kisah’ imam Syafi’i dengan Qaul Qadim serta Qaul Jadid-nya.
Kemudian, warisan yang diterima oleh Muhammadiyah dari K.H Ahmad
Dahlan adalah bukan produk fiqh-nya, melainkan spirit serta nilai-nilai pembaharuan
yang ditularkannya. Misalkan, pada gerakan Al-Maun. Muhammadiyah sangat respect
dengan laku dan progresifitas Ahmad Dahlan dalam memaknai surat Al-Maun
tersebut. Oleh karenanya, proyek Al-Maun masih senantiasa dijalankan tentunya
dengan metode dan cara yang adaptif dengan perubahan jaman.
Budaya pada Muhammadiyah tidak mengkultuskan para tokoh-tokohnya. Istilahnya,
tidak ada darah biru di Muhammadiyah. Siapapun terbuka untuk berpendapat dan peluang
menjadi pimpinan sangat terbuka. Kita tunggu saja Muktamar ke-47 ini, bahwa
dari nama-nama calon terkuat bahwa rata-rata tidak memiliki keturunan langsung
dengan Ahmad Dahlan, bahkan para pimpinan Muhammadiyah sebelumnya. Lebih jauh,
implikasi yang dihasilkan dari sikap tidak mengkultuskan adalah: tidak ada legitimasi
ajaran Muhamamdiyah yang bernada: ‘masa KH.Ahmad Dahlan salah’, ‘kan AR.
Fakhruddin itu ulama besar’. Tidak seperti itu, melainkan sejauh mana pendapat
mereka sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunnah.
NU itu Muhammadiyah
Jika Ali Sadikin melihat peluang kesamaan Muhammadiyah dengan NU
dari segi fikih, maka kami akan melihat hal tersebut dari perspektif lain: NU
sekarang adalah Muhammadiyah.
Paling kentara adalah, bahwa saat ini
sudah tidak ada lagi penolakan dari NU terhadap sekolah Islam modern: mencampurkan
antara agama dan ilmu umum dalam kelas yang berbangku. Bahkan sekarang NU
sedang gencar-gencarnya ‘meniru’ Muhammadiyah untuk membangun sekolah modern.
Padahal, masih ingat bagaimana Ahmad Dahlan harus rela dicap sebagai kafir,
hanya karena membangun sekolah Islam bermeja, berkursi, berbangku, bercelana. Pada
waktu itu, hanya sekolah kristen yang muridnya menggunakan celana, kelas
dilengkapi meja, kursi, bangku. Sedangkan pendidikan umat Islam (NU), hanya
mengenal pendidikan pesantren: lesehan, sarungan, tidak boleh ada ilmu umum. Ingat!
Ahmad Dahlan pernah dikafirkan atas hal ini. Ingat! Pelopor sekolah Islam
modern adalah Muhammadiyah.
Bahkan, jika saya melihat prosentasi mahasiswa
dari warga NU (baik ideologis maupun tidak) di kampus Muhammadiyah, itu lebih
banyak daripada mahasiswa yang berasal dari warga Muhammadiyah. Geliat
warga-warga NU untuk berpendidikan modern semakin besar sehingga justru ‘menghidup-hidupi
Muhammadiyah’, dengan berkuliah di Amal Usaha Muhammadiyah secara otomatis, segala
biaya yang dikeluarkan adalah untuk menghidupi pula dakwah Muhamadiyah.
Tidak ada lagi yang kemudian membuat
orang menolak gerakan filantropis Muhammadiyah yang bersifat kemanusiaan.
Padahal, pada saat pertama kali mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO),
Muhammadiyah ditentang karena menggunakan alat-alat kesehatan modern (baca: alat-alat
kafir) dan mempekerjakan dokter selain Islam. Hal tersebut dinyatakan sebagai
hal yang haram dan merusak akidah umat Islam. Lebih baik pergi ke dukun dan memberikan
sesajen untuk penghuni tertentu agar menghilang penyakitnya. Nah lagi. Apa mau
dikata sekarang IAIN (yang kita tahu sendiri selalu harus dikuasai oleh NU)
juga gencar-gencarnya untuk mendirikan kedokteran.
Pada intinya, rasionalitas Muhammadiyah
dalam memahami spirit Islam sekarang disepakati oleh NU. Bukan hanya tentang
mendirikan sekolah, rumah sakit, dan sebagainya, melain kenyataan bahwa hal
tersebut merupakan pemahaman agama yang harus ditumbuhkan di Indonesia. Bahwa
Islam harus bergerak lebih progresif dan mengelola isu-isu yang lebih
produktif, dibandingkan harus bergelut kepada persoalan fiqih yang
penyelesaiannya hanya berujung kepada ego masing-masing.
Kalau kita boleh jujur. Sebagian orang-orang
Muhammadiyah pun sekarang tersaingi oleh anak-anak Muda NU yang lebih progresif
dalam ‘pendidikan serta memahami Islam modern. Meski di sisi lain, hal tersebut
juga menjadi sebuah kebahagiaan, karena dakwah Muhammadiyah kepada NU dahulu
untuk tidak menolak pendidikan Modern sekarang menemukan legitimasinya. NU mungkin
sudah menjadi lebih Muhammadiyah dari Muhammadiyah.
Sekali lagi, kita tidak ingin
mengungkit-ungkit perbedaan. Hanya saja, saya sepakat dengan Robby Karman bahwa
faktor sejarah juga sangat menentukan paradigma NU dan Muhammadiyah. NU lebih
memilih faktor wahabi sebagai alasan pendiriannya, sehingga tidak mengherankan
jika Islam Nusantaralah yang menjadi isu utama. Sedangkan Muhammadiyah, lebih
kepada kolonialisme, sehingga tugas Muhammadiyah bukan pada isu keagamaan,
melainkan kepada kondisi sosial progresif, seperti ketertindasan dan
sebagainya.
Sekali lagi, isu-isu yang tak produktif
seperti ini harus dihindari kembali. Karena sudah tidak mempan lagi klaim Ahmad
Dahlan sebagai orang NU hanya dari ‘frame’ dan ‘budaya’ NU dalam memahami gerakannya.
Sedangkan Muhammadiyah pun dalam frame gerakan tentunya akan menuding NU sudah
menjadi Muhammadiyah (seperti yang saya lakukan), karena secara pola
pengembangan dakwah semakin sama dengan Muhammadiyah. Jadi, takkan pernah ada
habisnya.
Terakhir, mari pada bulan Ramadan ini,
dengan pemahaman masing-masing, Allah SWT memberikan pahala yang
sebesar-besarnya. Karena tidak mungkin Allah membedakan pahala seseorang karena
membela Muhammadiyah atau NU. Melainkan berdasarkan kualitas berpuasanya
masing-masing.
*Kader IMM Sukoharjo
Assalamualaikum WrWb. sy tertarik dgn perspektif analisis anda. Namun saya punya pendapat sendiri. Saya kira kurang tepat jika NU sudah menjadi MU dalam segi kemodernisannya seperti mendirikan madrasah layaknya kolonialisme, Karena KH Wahab Hasbullah pernah mengatakan "NU boleh berubah menjadi kurikulum modern, yang penting akidah tetap sama". Dan KH Mahrus Ali Lirboyo pernah berkata "kalau mau pengajian pakai pakaian yg necis kalo punya mobil pakai mobil..".
BalasHapusTerlihat kalau NU dari dulu tidak keberatan dgn modernisasi. Memang diakaui pada zaman penjajahan banyak ulama NU tidak suka gaya KH A Dahlan yg meniru gaya pendidikan asing, tp itu urusan politik/siyasah NU, bukan masalah fiqh. NU tidak ingin menjadi tamu di negeri sendiri, dan memiliki gaya pendidikan sendiri. Ini merupakan wujud penentangan kpd kaum penjajah.
NU tetap memiliki Himmah aliyah (cita2 tinggi) dalam mempertahankan kurikulum pesantrennya. Namun politik orde baru memojokkan NU dan lebih memilih model kurikulum ala MU. NU harus bersaing dengan MU dalam hal insfrastruktur, namun masih banyak jg madrasah2 yg mempertahankan kurikulum pesantren dimasukkan di dalamnya.
Dan akhir-akhir ini, terbukti kurikulum pesantren ala NU sedang di gemari di periode 2013/2015 dengan munculnya kurikulum 2013. Bahkan oleh pakar akademisi asing. Tanpa di sadari ternyata kur13 mengadopsi kurikulum pesantren, lantas disesuaikan dgn model boarding school. Termasuk MU banyak yg mendirikan boarding school. Padahal boarding school sendiri adalah pendidikan khas NU hanya namanya saja yg di inggriskan.
Saya sebagai warga NU tetap salut dgn perekonomian di tubuh MU yg kian subur. Kami perlu belajar dari sana. Meski kami punya cara tersendiri dalam mendirikan sarana umum dgn mendirikan pesantrean, madrasah, rumah sakit dan lembaga lain secara perorangan yang oleh kiyai. Jika dalam MU setiap kabupaten mungkin bisa mendirikan 1 pesantrean dan 5 lembaga pendidikan yg dekelola oleh MU. Tapi jika NU dalam satu kabupaten ada 10 kiyai saja, mereka bisa memiliki pesantrean dan madrasah yang dikelola sendiri tanpa melibatkan organisasi NU. Itulah perbedaannya.
Wassalamualaikum WrWb
tambahan referensi :
BalasHapusjika membaca dengan tulus,
hasil Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926 ... NU adalah Muhammadiyah :-)
Jika NU dianggap Muhammadiyah karena meniru prinsip progresifitas dakwah sosialnya dg mendirikan sekolah dll, saya kira kurang tepat.
HapusNU dg prinsip almuhafadzatu alaa qodimis sholih wal akhdu alaa jadidil aslah (mempertahankan perkara lama yg masih relevan dan mengambil perkara baru yg lebih baik), sangat terbuka dg spirit pembaharuan. Termasuk dengan pendirian sekolah. Buktinya, di PP Tebuireng sudah mengajarkan materi umum seperti ilmu pengetahuan alam dan bahasa asing. Belum lagi berdirinya Taswirul Afkar yg notabane-nya adalah embrio dari NU.
Sepakat dg komentar bapak Haidar diawal, kenapa NU tak mengembangkan sekolah umum layaknya Muhammadiyah karena kala itu NU menerapkan political identity (politik identitas). NU coba menampilkan pola pendidikan yg vis a vis dg pemerintah kolonial. Yg mana kala itu, sekolah-sekolah umum amat identik dg kolonialisme dan kristenisasi. Tentu hal ini berangkat dari pemahaman agama yg kuat. Sebagaimana hadist Nabi: man tasabbaha min qawmin fahuwa minhu (barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dr kaum tersebut).
Hal ini terlihat bagaimana saat ini kader NU lebih progresif dlm pendidikan umum ketimbang Muhammadiyah sendiri. Sebagaimana yg diakui si penulis. Ini membuktikan bahwa NU sangat adaftif dan tak stagnan.
Pendapat mengenai latar belakang sejarah berdirinya NU hanya karena merespon wahabi, saya kira ini kurang komprehensif. Selain latar belakang aqidah, NU berdiri jg faktor nasionalisme. Karena diakui atau tidak, kyai dan pesantren yg merupakan unsur utama NU adalah organ terdepan yg melakukan perlawanan baik dg senjata maupun dg pergerakan sosial melawan penjajah.
Kesimpulannya, artikel diatas ini perlu direvisi. NU tetaplah NU, baik dalam aqidah maupun gerakan. Entah dg Muhammadiyah?
baca juga ;
HapusMujammil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam: Mizan, 2002
Muhammad Najih, Membongkar Kedok Liberal Dalam Tubuh NU: oko Kitab Al-Anwar Sarang Rembang, Majlis Khair, 2011
ya Sudah..... Yuk Era sekarang bangun 'MUHAMMADINU" digerakan oleh " Muhammad Nahdliyin" Gitu aja Repot.
BalasHapusSaatnya kita bersatu membangun negri,,, Seng penting Indonesia AMAN, kalo aman, ibadah jadi lancar tidak takut huru-hara yg macem2. kalo kita hanya berkutat mencari kelemahan masing2 ndak bakalan rampong,,, kita masing2 sudah punya pegangan ato pedoman sendiri2...
BalasHapusNU dan MD bedanya sedikit, lebih banyak kesamaannya... bedanya, kalo NU senengnya panjang, kalo MD senengnya yg pendek... NU Tarowih 20 rakaat, MD 8 rakaat. NU jum'atan adzan 2x MD jum'atan adzan 1x... tpi sama2 tarowih dan jum'atan... yg salah yg tidak tarowih dan tidak jum'atan...
bner mbak Naini Masitoh@ Gitu aja Repot...
Podo islame sing rukun
BalasHapusJika NU dianggap Muhammadiyah karena meniru prinsip progresifitas dakwah sosialnya dg mendirikan sekolah dll, saya kira kurang tepat.
BalasHapusNU dg prinsip almuhafadzatu alaa qodimis sholih wal akhdu alaa jadidil aslah (mempertahankan perkara lama yg masih relevan dan mengambil perkara baru yg lebih baik), sangat terbuka dg spirit pembaharuan. Termasuk dengan pendirian sekolah. Buktinya, di PP Tebuireng sudah mengajarkan materi umum seperti ilmu pengetahuan alam dan bahasa asing. Belum lagi berdirinya Taswirul Afkar yg notabane-nya adalah embrio dari NU.
Sepakat dg komentar bapak Haidar diawal, kenapa NU tak mengembangkan sekolah umum layaknya Muhammadiyah karena kala itu NU menerapkan political identity (politik identitas). NU coba menampilkan pola pendidikan yg vis a vis dg pemerintah kolonial. Yg mana kala itu, sekolah-sekolah umum amat identik dg kolonialisme dan kristenisasi. Tentu hal ini berangkat dari pemahaman agama yg kuat. Sebagaimana hadist Nabi: man tasabbaha min qawmin fahuwa minhu (barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dr kaum tersebut).
Hal ini terlihat bagaimana saat ini kader NU lebih progresif dlm pendidikan umum ketimbang Muhammadiyah sendiri. Sebagaimana yg diakui si penulis. Ini membuktikan bahwa NU sangat adaftif dan tak stagnan.
Pendapat mengenai latar belakang sejarah berdirinya NU hanya karena merespon wahabi, saya kira ini kurang komprehensif. Selain latar belakang aqidah, NU berdiri jg faktor nasionalisme. Karena diakui atau tidak, kyai dan pesantren yg merupakan unsur utama NU adalah organ terdepan yg melakukan perlawanan baik dg senjata maupun dg pergerakan sosial melawan penjajah.
Kesimpulannya, artikel diatas ini perlu direvisi. NU tetaplah NU, baik dalam aqidah maupun gerakan. Entah dg Muhammadiyah?
baca juga ;
HapusMujammil Qomar, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam: Mizan, 2002
Muhammad Najih, Membongkar Kedok Liberal Dalam Tubuh NU: Toko Kitab Al-Anwar Sarang Rembang, Majlis Khair, 2011
Masing-masing punya kekurangan dan kelebihan. Tidak ada salahnya meniru hal yang baik dari manapun asalnya. Meniru hal yang baik adalah kebanggaan bukan aib. Jadi kalau kita melakukan hal baik dan ada yg mengatakan kita meniru padahal kta yakin itu bukan tiruan kita tidak perlu repot-repot membela diri.
BalasHapusSaya sependapat dengan jenengan...
HapusIlat Tasalsul tidak akan ada hentinya bila tidak sadar akan ini.
koment paling bermutu menurut saya.
HapusSeng penting mengko maghrib buko seng enak halal lan barokah ketimbang saling menghujat mengko kalah ama nafsu akhirnya pukul pukulan hadehh
BalasHapusUlasan yang menarik
BalasHapushttp://ppmpurwokerto.blogspot.com/
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDlm gaya tongkrongan, tulisan ini spt mengembangkan jurus "menurunkan harga menaikan mutu."
BalasHapusTapi kesan emosi meledak-ledaknya dapet. Cocok jadi gaya penulisan utk berita bola.
Tapi oke.. #YangPentingIslam
podo wae lah... cuma beda geng sama tradisi aja..
Dlm gaya tongkrongan, tulisan ini spt mengembangkan jurus "menurunkan harga menaikan mutu."
BalasHapusTapi kesan emosi meledak-ledaknya dapet. Cocok jadi gaya penulisan utk berita bola.
Tapi oke.. #YangPentingIslam
podo wae lah... cuma beda geng sama tradisi aja..
top
HapusArtikelnya perlu direvisi...
BalasHapusArtikelnya perlu direvisi...
BalasHapusGa ada yg perlu direvisi, sudut pandang kita boleh berbeda, itulah yg menjadikan kekayaan literatur berfikir kita.. dulu bendera muhammadiyah di cabang desa saya warnanya biru sekarang juga sudah berubah menjadi warna hijau, mungkin orang muhammadiyah juga sudah menjadi NU.. haha
BalasHapusGa ada yg perlu direvisi, sudut pandang kita boleh berbeda, itulah yg menjadikan kekayaan literatur berfikir kita.. dulu bendera muhammadiyah di cabang desa saya warnanya biru sekarang juga sudah berubah menjadi warna hijau, mungkin orang muhammadiyah juga sudah menjadi NU.. haha
BalasHapusmenanggapi " Sekali lagi, ini hanya persoalan fiqh, sebagaimana hukum yang berlaku bahwa fiqh itu produk ulama yang tentunya juga tidak harus kita menaatinya sepanjang waktu. Jika terjadi perubahan, maka tidak menutup kemungkinan fiqh dapat berubah. Kita tentunya mengenal ‘kisah’ imam Syafi’i dengan Qaul Qadim serta Qaul Jadid-nya."
BalasHapusKenapa soal Hisab ga berani mengubah? beranikah mengubah metode Hisab dari wujudul Hilal menjadi Imkanurru'yah ?
PODO ISLAM GAK USAH RIBET ,,, DI DESAKU BANYAK ORANG MUHAMADIYAH YG MENGGELAR TAHLILAN SAAT ADA KELUARGANYA MATI ,,, TAPI GAKK ADA MASALH ,,, YG PENTING SEMUA SESUAI DENGAN AL-QUR'AN DAN SUNAH RASUL ..... GITU AJA KOK REPOT
BalasHapusWes rasah do ribut gk ono untunge debat nang dunia maya.... nk wani do gawe forum debat nang dunia nyata
BalasHapusCocok kenyataane sak lawase muhammadiyah ora iso luweh gede dibanding nu. Nu jempol... muhammadiah yes. Ayo podo sregep ibadah e moco qurane... joss islam rohmat lil ngalamin.
BalasHapuskikiki ngaji yg banyak lagi ya mas irvan
BalasHapustidak ada yg menjadi "bunglon di sini"kalo anda kaitan ttg pendidikan itu bukan berarti Nu menjadi muhammadiyah,,lihat juga dr segi fiqh tdk ada yg berubah semua masih sama dengan ijma ulama dan ttp tdk berubah,,terlalu dangkal kalo perbandingan ini anda jadikan sample,namun sebenarnya bukan permasalah siapa yg menjadi siapa,namun tulisan anda sudah lebih ke arah menunjukan keeksentisian antara muhamadiyah dan NU,sehinggga mungkin tulisan anda bisa menjadi perdebatan semu,yg akhirnya mengeklem antar organisasi siapa yg lebih hebat,bukan jaman nya perdebatan ini lagi. sekarang jaman pengaruh ktistenisasi yg dilakukan pihak lain,,nah permasalahan ini yg seharusnya anda bahas,,bukan tulisan ini yg saya anggap kurang baik,sehingga menejerumus kepada egois antara lembaga nantinya,,dan saya yakin kalo saya balik kan judul ini misalnya,anda pun akan bersikap sama seprti saya,yg menganggap Muhamadiyah yg benar atau apapun itu ,jd akhirnya mejadi perdebatan...
BalasHapusBijak...
HapusMas Irfan, pemikiran anda bagus, salam dari sahabat2 PMII Kota Malang kepada klmpok Cipayung khususnya sahabat2 kader IMM di Surakarta
BalasHapusmikir ormas sampai pada botak!!!,benjol malah,di tempat saya NU dan MUH damai" saja,tak pernah ada isu,orang yang ngomong seperti itu cuman ingin memperkeruh suasana saja,dan itu cuman orang" yg otaknya haus akan duniawi saja,toh kita sama" nyembah Allah SWT,selama kita tidak menganut Islam sesat mah woles" aja kali...emang yg anda sembah ormas???
BalasHapuslanjutkan dakwah persyarikatan. Muhammdiyah mandiri untuk indonesia, bukan penghisap negara seperti para kebanyakan elit politikus.
BalasHapus"Selamat siang Bos 😃
BalasHapusMohon maaf mengganggu bos ,
apa kabar nih bos kami dari Agen365
buruan gabung bersama kami,aman dan terpercaya
ayuk... daftar, main dan menangkan
Silahkan di add contact kami ya bos :)
Line : agen365
WA : +85587781483
Wechat : agen365
terimakasih bos ditunggu loh bos kedatangannya di web kami kembali bos :)"