*Mahasiswa Fakultas Agama Islam, UMS
Tulisan ini
barangkali, merupakan benar-benar pengalaman subjektif kami beradasarkan studi
kasus di lapangan. Ya, ini fenomena real dari rekaman indrawi kami
bersama dinamika Muhammadiyah di lapangan. Tulisan ini mungkin nantinya, hanya
merekam beberapa pemikiran yang ada di grassroot, kemudian mencoba untuk
disusun dalam sebuah isu besar, tentang dinamika persyarikan yang kiranya harus
menjadi sorotan.
Mungkin
juga, gejala ini hadir di cabang serta daerah Muhammadiyah lainnya, bahkan
sudah sejak lama. Mumpung, momentum tahun 2015 ini terdapat satu agenda
tertinggi Muhammadiyah, yakni Muktamar ke-47 di Makassar yang Insya Allah akan
diselenggarakan pada 4-7 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan. Penulis ingin
sama-sama mengajak terlebih dahulu, untuk berdoa semoga acara akbar
Muhammadiyah tersebut, diselenggarakan dengan lancar dan menghasilkan
keputusan-keputusan yang progresif dan mencerahkan. Amien!
Mau tak mau.
Muktamar kita pada kali ini, harus menghadirkan sebuah evaluasi besar-besaran,
agar ke depan Muhammadiyah tetap bisa survive dalam memperjuangkan
dakwah Islam. Kiranya, jangan selalu menutup-nutupi kekurangan hanya demi
mempertahankan program kerja warisan, keterpaksaan politik, dan ego yang
memecah belah umat. Muhammadiyah memang harus tetap mempertahankan nilai serta
spirit yang diwariskan oleh KH. Ahmad Dahlan: spirit pembebasan dari teolog
Al-Maun; spirit amal yang menjadi progresifitas Muhammadiyah; spirit keikhlasan
yang mempermudah jalan dakwah.
Meski nanti,
pada ‘cara dan metode’ pengaplikasiannya, kita sah-sah saja untuk berbeda
dengan para pendahulu. Karena bagaimanapun, konteks perjuangan saat ini sudah
beralih sedemikian rupa, cepat, dinamis. Maka, Muhammadiyah wajib melakukan
inovasi, pembaharuan demi perjuangan menegakkan eksistensi dakwah Islam
berkemajuan.
Obrolan-Obrolan
tentang Muhammadiyah
Kami coba
awali tulisan ini, dari obrolan kami bersama ketua Lembaga Pengembangan Cabang
dan Ranting (LPCR) pusat, Dr. Phil Ahmad Norma Permata.MA. Kebetulan, beliau
satu almamater di perkaderan pondok Hajjah Nuriyah Shabran, sesaat setelah
mengisi acara dari LPCR yang diselenggarakan di UMS Surakarta.
Obrolan tersebut
pada awalnya, hanya berbicara seputar konsep perkaderan yang sedang dirancang
oleh beliau. Kiranya pula, hal apa saja yang bisa dibantu oleh para angkatan
Muda, mewujudkan konsep tersebut. Seiring waktu berjalan, obrolan kami justru beranjak
pada sebuah guyonan pertanyaan: “Mengapa, di mana-mana kita mendapatkan pengurus
Muhammadiyah selalu kalangan “Tua?” Lontaran pertanyaan ini, sesuai dengan
pengakuan beliau, bahwa saat berkunjung ke cabang-ranting di berbagai daerah Nusantara,
selalu mendapati pimpinan-pimpinan Muhammadiyah dari kalangan sepuh.
Jawaban kami,
tentunya akan selalu berlandaskan pada sistem perkaderan. Toh, Muhammadiyah
sudah memiliki berbagai organisasi otonom yang menjadi wadah bagi segmentasi
masyarakat masing-masing: Pelajar (IPM), Mahasiswa (IMM), Pemuda (PM/NA), serta
berbagai ortom lainnya yang pengklasifikasiannya lebih kepada minat dan bakat:
Tapak Suci dan HW. Kami kira itu jawaban yang paling tepat.
Tetapi
kemudian, salah satu dari kami memberi jawaban yang sangat unik dan out of
the box: “Pimpinan Muhammadiyah memang wajib dari kalangan Tua, karena hal
tersebut merupakan warisan dari KH. Ahmad Dahlan. Lihat saja, di mana-mana foto
Kiai Ahmad Dahlan yang dipajang, selalu saja foto pada saat masa tuanya,”
paparnya dengan semangat. Tentu saja, hal tersebut kami anggap guyonan.
Mengingat pula, sangat wajar memang jika pimpinan Muhammadiyah diduduki oleh angkatan
yang sudah sepuh, karenanya terdapat ortom-ortom yang terkumpul dalam Angkatan
Muda Muhammadiyah (AMM), sebagai wadah bagi para anak muda.
|
Foto KH. Ahmad Dahlan Pada Masa Tua. Jarang Sekali kehadiran sewaktu masih Muda. |
Namun
daripada itu, perkataan teman saya ini juga ada benarnya. Karena bagaimanapun,
terkadang kita terlampau salah karpah dalam ‘mengikuti’ ajaran KH. Ahmad
Dahlan. Pada akhirnya, kita bersikap terlalu kaku dalam hal-hal yang berkaitan
dengan “metode” dan “cara” dalam mengimplementasikan program berkaitan dakwah Muhammadiyah,
namun justru melupakan nilai-nilai dan spirit yang diwariskan oleh KH. Ahmad
Dahlan.
Spirit (Me-Nokia-kan)
Muhammadiyah
Pada tulisan
ini, kami ingin ungkapkan sebuah fenomena pada dinamika Muhammadiyah di daerah Boyolali
Jawa Tengah, yang (dalam perspektif kami) mempunyai dinamika “unik”, namun sangat
“fundamental” untuk diangkat. Meski begitu, bukan berarti hanya pada daerah
Boyolali saja yang mengalami fenomena tersebut, melainkan juga di berbagai
daerah yang tentunya, harus kita dalami kembali dan dikaji sehingga mendapatkan
sebuah solusi yang universal.
Sebagaimana
kita ketahui, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia.
Sengaja kami mengilangkan prefix “ter-“, karena dalam penelitian
terakhir menyebutkan, populasi warga Muhammadiyah—terlepas dari
objektivitasnya—di Indonesia hanya sekitar 7 persen. Meski begitu, saking
besarnya organisasi Muhammadiyah ini, tidak ada yang kemudian percaya bahwa: Muhammadiyah
takkan pernah jatuh dan hilang dari Indonesia.
|
Logo Resmi Muhammadiyah yang Berfilosofi Matahari: Siap Menyinari |
Seperti yang
pernah diungkapkan pula, oleh Prof. Ayzumardi Azra pada seminar pra-Muktamar-47
yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa waktu
lalu, menyebutkan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang sudah
mengakar di Indonesia, baik dalam sejarah, pemikiran, maupun budaya. Sulit
sekali kiranya untuk dapat ‘lenyap’ dari Indonesia. Tentunya hal tersebut juga
diamini oleh para aktivis Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Nah, kali ini pandangan seperti itulah yang coba digugat
oleh salah satu aktivis pemuda Muhammadiyah di Boyolali tersebut, saat kami
berbincang dengannya dalam sebuah kesempatan. Dengan pertimbangan etika, kami
tidak mempublikasikan nama yang bersangkutan karena ‘mengaku’ tidak ingin
merusak ketenangan Muhammadiyah. [i]
Dia sangat
menyayangkan berkembangnya asumsi kemapanan tersebut di kalangan Muhammadiyah. Muhammadiyah
tidak menyadari bahwa sekarang ini, dunia cepat sekali berubah sedangkan respon
Muhammadiyah masih sangat lamban, karena mungkin merasa besar dan digdaya. Sebagai
efeknya, Muhammadiyah (menurutnya) mengenyampingkan—untuk tidak dikatakan—lupa
akan proses kaderisasi. Ada, tapi tidak/belum maksimal. Hanya sekedar
formalitas. Lantas kemudian, orang-orang yang berada dalam Muhammadiyah, hanya
sibuk berlomba-lomba untuk mempertahankan “kuasa” pimpinan masing-masing. Bahkan,
sebagian mereka tidak ingin “popularitas” mereka di Muhammadiyah tersaingi,
baik oleh organisasi lain maupun kader-kader muda Muhammadiyah sendiri.
Padahal, kader-kader muda merupakan aspek yang paling penting, bagaimana Muhammadiyah menciptakan produk yang mampu bersaing dengan perkembangan zaman. Produk yang masih bisa diberikan inovasi dan rangkaian-rangkaian baru. Semua bisa diciptakan jika tentunya Muhammadiyan terus menerus mendukung para kader-kader muda, untuk senantiasa "cepat" memiliki jatidiri: menjadi kader dan pejuang Muhammadiyah yang sejati. Itu.
Churofat Kuasa
Kuasa, wanita, dan harta memang seringkali mudah menjadi fitnah. Sebagaimana
disebutkan dalam Qs. Ali-Imron (3): 14. Meski dalam hal ini, kami melihat
memang ada persoalan besar di Muhammadiyah, lebih terkait dengan “kuasa”.
Melihat akibatnya, kader-kader Muhammadiyah muda ditekan supaya tidak bisa
berkembang, menyaingi para pimpinan Muhammadiyah yang sudah mapan di
persyarikatan. Yang paling memprihatinkan adalah, jika pada saat Muhammadiyah “muda”
membuat gerakan baru, justru disebut sebagai “pengkhianat persyarikatan”.
|
Dinamika dalam Pimpinan itu Harus disikapi dengan Musyawarah dari Semua Pihak |
Itulah
sekelimut dinamika akut yang dialaminya pada Muhammadiyah. Dia sangat khawatir
jika hal tersebut terus menerus dipelihara, maka virus tersebut akan semakin
menyebar dan membahayakan Muhammadiyah. Muhammadiyah bisa hilang ditelan bumi, karena
tiada lagi kader yang melanjutkan perjuangannya.
Dia pun
memaparkan, pada akhirnya banyak Pemuda Muhammadiyah Boyolali yang akhirnya
membuat gerakan diaspora tersendiri. Mereka lebih memilih untuk membuat
organisasi semacam lembaga sosial masyarakat (LSM) bernama Arsada.
Organisasi yang fokus tentunya pada pergerakan sosial-keagamaan.
Kegiatan-kegiatannya lebih terpusat kepada semangat ber-Al-maun.
Prinsip mereka, jika semua diniatkan berdakwah, maka pada saat itu pula kita
bermuhammadiyah. Meski begitu, kegiatan tersebut nyatanya tetap tidak mendapat
restu oleh para pimpinan Muhammadiyah setempat. Barangkali, karena ada sebagian
yang takut tersaingi popularitasnya gerakan yang dibuat oleh kaum muda
tersebut.
Pada tulisan
ini, kami bukannya tidak mau untuk ber-tabayyun. Hanya saja, mengingat
gerakan Arsada ini sudah sangat besar di daerah tersebut, namun jarang
sekali menampakkan simbol-simbol Muhammadiyah. Nampaknya memang bisa untuk dijadikan
legitimasi argumentasinya. (Untuk info lebih lanjut tentang Arsada
tersebut bisa mengunjungi website ini www.arsada.or.id). Namun
begitu, keprihatinan kami yang semakin berlipat ganda adalah, setelah kami
mendengar pula dari beberapa sumber bahwa gerakan para pemuda Muhammadiyah
tersebut, sudah “berideologi” organisasi lain—untuk menyebutkan sebagian,
adalah Majelis Tafsir Alquran (MTA), juga gerakan-gerakan tarbiyah. Semoga saja
ini keliru.
Meski
begitu, saya harus tegaskan! Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan Muhammadiyah
“tua” maupun “muda”. “Tua” pun tentunya, tidak sekedar merujuk kepada umur,
melainkan lebih besar kepada pemikiran seseorang. Begitupula dengan pemikiran
“muda” yang bisa justru, dimiliki oleh orang-orang yang sudah berusia lanjut.
Kita tentu, sangat
dan masih membutuhkan senior—dengan catatan—“yang peduli” dengan gerakan kader
muda. Kami ingat buku Pak AR: Mubaligh Ndeso yang menceritakan bahwa,
Pak AR seringkali memberi kesempatan kaum muda untuk menjadi imam salat di kos
miliknya, meski terkadang bacaannya “ancur”. Prinsip pak AR, kaum muda harus
tampil! Itulah yang dirindukan oleh para aktivis Muda dari para pemimpin di
Muhammadiyah.
|
Angkatan Muda Muhammadiyah yang Siap Meneruskan Perjuangan |
Kami pun
terkadang sangat “cemburu” dengan gerakan para aktivis muda di “tetangga” kita.
Para aktivis muda sangat didukung untuk tampil ke depan, baik dalam kancah
intelektualitas maupun politik. Jika kita (tidak) ingin disebut
mengungkit-ungkit, barangkali kita bisa melihat jatah menteri yang nihil dari kader-kader
muda Muhammadiyah. Mereka (pada kader) seharusnya mampu untuk disekolahkan,
dididik, serta didampingi. Barangkali, sudah saatnya kita mengakui kekurangan
Muhammadiyah yang satu ini.
Juga setelah
kami berdiskusi dengan aktivis IMM PC AR Yogyakarta UMY yang membawa
kesimpulan: bahwa masa depan Indonesia bukan milik kader Muhammadiyah,
melainkan kader “tetangga”. Hal ini, tentu bercermin dari kader-kader mudanya
yang progresif dan berdiaspora dalam berbagai elemen sosial di Indonesia.
Kembali lagi
pada poin pembicaraan kita bahwa, Muhammadiyah harus mawas diri bahwa, suatu
saat persyarikatan yang kita cintai ini mampu runtuh dan hilang dari Indonesia.
Melalui kebobrokan internal, kurangnya pembaharuan, serta invasi dari gerakan
luar yang semakin agresif. Karenannya, tidak usah mengherankan lagi, jika pada
suatu kecamatan (baca: cabang Muhammadiyah), warga Muhammadiyah akan habis. Tak
tersisa.
Muhammadiyah
Memasuki Era Nokia
Kita tentu
masih ingat. Fenomena pada tahun 2000-an, berbicara handphone di
Indonesia seolah-olah harus selalu tertuju kepada satu merk: Nokia. Banyak
kalangan yang kemudian menyebutkan bahwa, pasar Nokia di Indonesia takkan ada
yang menandingi dan takkan mungkin lenyap dari peredaran di Indonesia. Nokia
adalah perusahaan handphone yang paling digdaya dan tak tertandingi
omzet penjualannya. Pada waktu itu.
|
Nokia: Dulu Berjaya, Lalu Tenggelam, Namun Mampu Bangkit Kembali |
Namun seiring
waktu berselang, pada akhirnya kita menyaksikan sendiri bahwa, pada 2011
semenjak peluncuran handphone Blackberry oleh perusahaan di Kanada,
penjualan HP Nokia mengalami kemerosotan yang begitu tajam sehingga tak lagi
kita mendengar orang memiliki dan membanggakan HP Merk Nokia. Kecuali mungkin,
mereka para orang tua yang memang tidak memikirkan perkembangan fashion dalam handphone.
Karena tentunya sudah merasa nyaman dengan HP Nokia tersebut, dan tak ingin
ribet dengan hal-hal baru.
Lihatlah
fenomena tersebut! Nokia yang dulu digdaya, sekarang tak berdaya.
Kemudian,
kedigdayaan Blackberry pun sirna, seiring dengan perkembangan smartphone
yang merambah ke berbagai merk handphone, termasuk Nokia. Pada akhirnya,
Nokia menyadari bahwa mereka perlu melakukan inovasi (baca: tajdid) dalam
penjualan produk mereka, agar mereka bisa jaya kembali. Pada akhirnya, hal
tersebut benar-benar terjadi. Pada 2013, Nokia mengalahkan blackberry dalam hal
penjualan smartphone Nokia Lumia. Baca selengkapnya dalam Berkat Lumia,Nokia berhasil Depak Blackberry.
Dalam sejarah
Islam, kita tentu sering mendengar kisah tentang peradaban Islam di Cordova,
Spanyol. Bagaimana Islam berperan mengenalkan modernisasi pada Eropa,
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan sehingga berjasa mengantarkan Eropa,
menuju zaman pencerahan (renaisans). Tapi, apalah yang tersisa saat ini
dari Spanyol, selain bangunan dan arsitektur warisan Islam yang hanya dijadikan
sebagai museum, tanpa diberitahukan bahwa terdapat karya umat Islam di sana.
Hal ini, terekam sangat jelas lewat novel 99 Cahaya di Langit Eropa yang
ditulis oleh Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra.
Meski mungkin,
analogi yang saya bangun dengan menyamakan ranah ormas Islam dengan produk
bisnis tersebut sangat jauh. Nyatanya, kita melihat dalam beberapa sisi,
terdapat persamaan antara nilai, fenomena, serta tantangan yang dihadapi oleh
Muhammadiyah dan Nokia, tersebut. “Kehancuran” Nokia oleh Blackberry
merupakan salah satu evaluasi yang besar bahwa, pada posisi kemapanan dan
dianggap takkan ada yang menyaingi, Nokia terlalu bersantai sehingga tidak
bersiap untuk meluncurkan produk-produk, yang lebih inovatif dan adaptif dengan
perkembangan zaman. Hal yang sama akan terjadi pada Muhammadiyah, jika spirit,
nilai perjuangan, serta kaderisasinya tidak kemudian, dijaga dengan baik.
Sedangkan,
kehadiran Blackberry disambut baik oleh pasar Indonesia, meski di pasar negara
tempat di berkembang (Canada dan United State) tidak terlalu
diminati. Barangkali, kita bisa melihat hal ini untuk menilai gerakan-gerakan
Islam transnasional yang mulai ‘laku’ di Indonesia, dan siap mengancam ‘pasar’ mainstream
dari arus Islam di Indonesia (Nokia). Meski ideologi transnasional tersebut,
pada negara kelahirannya, belum tentu laku.
Kemudian,
bukan itu saja yang bisa jadikan sebagai pedoman. Lihat, bagaimana evaluasi
yang diadakan oleh Nokia pada akhirnya berhasil kembali merebut pasar (paling
tidak) dari Blackberry yang sempat berjaya di Indonesia, dengan meluncurkan
produk smartphone yang lebih inovatif dan adaptif dengan perkembangan
zaman: Nokia Lumia 3.
|
Arus Islam Mainstream di Indonesia: Muhammadiyah dan NU |
Satu-satunya solusi: Pembaharuan
Pada
saat kelahirannya, tahun 1920-an Muhammadiyah adalah produk yang menarik dan
hebat sehingga menarik berbagai kalangan untuk bergabung berdakwah dengan
Muhammadiyah. Bisa jadi sekarang Muhammadiyah tidak menarik lagi. Terutama
pasca reformasi, banyak sekali ormas-ormas Islam yang kemudian tumbuh subur,
baik secara pergerakan sama dengan Muhammadiyah namun memakai nama lainnya.
Sejarah, mau tak mau harus selalu terjadi.
Suatu
saat, kita bisa jadi menyaksikan Muhammadiyah tinggal sejarah. Muhammadiyah
pernah ada, sekarang tidak ada. Sejarah akan terus berjalan, kita hanya tinggal
memperpanjang usaha agar bisa semakin eksis bertahan. Satu hal yang paling
mampu untuk bisa bertahan adalah: menyikapi perubahan.Tidak bisa kita
terus-terusan menganggap Muhamamdiyah sebagai ormas besar dan memiliki massa
yang banyak. Padahal, pada kenyataannya kita masih sangat tertinggal dengan
ormas lain. Pada tingkat cabang/ranting kita masih keropos. Tidak mengherankan
mungkin jika masjid-masjid Muhammadiyah diserobot oleh kelompok lain karena
aktivitas kosong.
Peluang
mati sudah hadir. Jika Muhammadiyah mati, kita selayaknya untuk tidak selalu
menyalahkan faktor-faktor eksternal, karena hal tersebut merupakan sunnatullah.
Muhammadiyah tidak bisa mengatisipasi perubahan. Muhammadiyah tidak bisa
‘bersaing’ dengan organisasi lain, karena telalu gemuk dan sepuh sehingga
kurang sekali dalam bergerak. Sedangkan Ormas baru masih memiliki semangat baru
sehingga gampang sekali bergerak.
Oleh karena itu, Muktamar Muhammadiyah
ke-47 merupakan momentum bagi Muhammadiyah untuk melahirkan tajdid-tajdid baru
dan inovatif; melahirkan produk-produk pemikiran kebangsaan yang baru;
melahirkan kembali spirit-spirit dan nilai yang terkuburkan; membawa kembali
misi Islam berkemajuan; menganalisa dan memperbaiki perangkat-perangkat yang
rusak dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman; merencakan kembali
proyek-proyek perkaderan yang akan ‘memperpanjang’ umur dari Muhammadiyah.
|
Kota Tempat Diselenggarakannya Muktamar Muhammadiyah ke-47 |
Pembaharuan
yang dilakukan tentu tidak asal beda, tidak asal inovatif, tidak asal merebut
massa, tidak asal mengumpulkan banyak jamaah. Karena harus tetap ada yang
menjadi ciri khas dari Muhammadiyah yakni, mengutamakan kualitas keberIslaman
sebagaimana yang diwariskan oleh para pendahulu. Muhammadiyah yang mungkin
sudah saatnya lagi tidak melihat Indonesia sebagai ‘market’ utamanya, melainkan
juga pasar luar (dunia).
Muhammadiyah
harus mulai mencoba menginternasionalisasi, karena tawaran Muhammadiyah sangat
dibutuhkan bagi dunia saat ini. Produk Muhammadiyah merupakan produk yang berkualitas
rahmatan lila’lamin: Gerakan filantropis yang sangat maju, pendidikan
yang berkualitas, kepedulian sosial yang begitu tinggi. Sebuah wajah Islam yang
tentunya jika ditonjolkan kepada dunia akan menjadi wajah yang sangat
menyejukkan dan memberikan sebuah oase di tengah munculnya kembali
radikalisasi gerakan Islam di berbagai belahan dunia.
Terakhir
saya coba kutipkan warisan kata-kata dari KH Ahmad Dahlan yang berbunyi: “Menjaga
dan Memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku
senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap
kepada Illahi Rabbi. Aku juga berdoa berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat
karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi
seluruh ummat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.”
|
Sekali Berlayar! Pantang Layar Surut Kembali. Selamat Bermuktamar ke-47 Muhammadiyah |
Sekali
lagi, Muhammadiyah (pasti) harus bangkit! Selamat melaksanakan Muktamar! Untuk info mengenai muktamar bisa diupdate melalui muhammadiyah.or.id
[i]
Jika untuk kepentingan verifikasi hal ini, bisa menghubungi
kami terlebih dahulu (085867061415)