Rama dan Fitri


Oleh: Irfan Ansori*



18 Januari, 2005.

            Langkahku semakin kencang kala matahari mulai pulang kandang. Nafasku berlipat cepat, berulang-ulang, tak berirama. Mataku mulai lelah, semakin memerah. Lebih baik sebenarnya jika aku memejamkan mata, namun tentu aku takkan bisa memandang arah.

     Di seberang jalan, aku melihat beberapa mata manusia berbaris, menatapku keheranan. Mereka memanggil, meski takkan sempat jika harus menghalangi langkahku. Aku terus melaju.

Rentetan otot bagian pahaku mulai berontak. Kakiku menegang. Untuk menahan itu, aku memilih memejamkan mata. Sampai aku tak sempat membuka mataku kembali, tubuhku sudah tergeletak, terbujur kaku di tanah hitam. Langkahku tersungkur setelah kakiku terkait beberapa kayu di depanku. Tanganku terluka, merah bersimbah darah.

“Semua salahku, mengapa aku begitu pengecut menjadi seorang laki-laki,” hujatku. “Seharusnya, aku tidak berlari seperti ini, Fitri. Maafkan aku!”. Tanganku mengepal dan meninju bumi hingga tiba goncangan yang membuat gempa di sekitarku. Air mataku meleleh, perlahan, menetes, membasahi bumi.

Dan, “Aaarrrggggghhhhhhhh!!!!” Pekikku.

***

30 Juni, 2015

            Setelah Lima Bulan pasca tersematnya gelar sarjana pada ujung namaku, aku masih saja menganggur. Dewasa ini, menjadi sarjana tak menjamin memiliki kehidupan lebih layak.

Aku ingat saat pertama kali aku mengikuti tes wawancara kerja, pada sebuah perusahaan media lokal. Giliranku, aku berhadapan dengan seorang lelaki paruh baya. Nampaknya lebih tua dari usia bapakku. Dia sempat tercengang melihat nilai IPK-ku. Rata-rata para orang tua usia 50-an memang heran mengapa mahasiswa saat ini, begitu mudah mendapatkan IPK tinggi.

“Nak, banyak yang bekerja di sini adalah ber-IPK rendah. IPK tinggi rata-rata justru payah saat diandalkan bekerja,” ucapnya, sembari agak meremas kertas curriculum vitae milikku.

Saat itu aku memang tidak terlalu berambisi untuk bekerja sebagai wartawan. Hanya sekedar mengisi waktu nganggurku saja. Aku pun ditolak. Tapi aku pikir perkataan bapak tadi ada benarnya. Banyak dari mahasiswa IPK tinggi saat ini justru tak berpenghasilan layak. Pada masa menjadi mahasiswa, dia hanya sibuk untuk memikirkan buku, tugas, nilai tanpa mengembangkan soft skill. Setelah keluar dari dunia kampus, mereka gelagapan. Bekerja penuh gengsi.

            “Aku tuh lagi membicarakan diriku sendiri,” ucapku.

Aku kesal karena dianggap sedang ghibah.

 Alah, tetap aja pahala puasamu abis Ma.”

Aku tak menjawab lagi.

Aku memilih meraih laptop dan mouse. Memijit tombol start. Sembari menunggu proses booting. Aku berusaha mencerna kembali kata kata itu.

Selama ini, gelar dan prestasi yang kuraih justru membuatku terpenjara gengsi, jika harus melamar kerja bergaji serta berstatus sosial rendah. Pilihanku hanya ada dua: karyawan bergaji tinggi atau berwirausaha.

            “Woi, khusyuk banget lu Rama. Kamu marah sama aku toh,” kejutnya, sembari menepuk pundakku.

Dia Ujang, teman satu kosku. Meski sama-sama berasal dari tanah Pasundan, namun perkenalan kami justru terjadi di kereta saat perjalanan menuju Solo. Saat itu kami sama-sama pertama kali ke Jawa. Tak pandai pula berbahasa Jawa. Aku sangat bersyukur ada teman senasib.

Seperti riwayat pada umumnya. Jika terdapat orang Sunda yang sama-sama berada di tanah perantauan, akan berusaha menganggap keluarga satu sama lain. Sampai akhirnya, kami memilih untuk menghuni kos yang sama, meski kuliah berbeda jurusan.

Meski sampai saat ini, aku menilai, di balik sosoknya yang selalu ceria, Ujang memiliki pribadi yang tertutup. Hanya sedikit tentang kehidupannya yang aku ketahui. Sekedar tahu bahwa dia berasal dari Sukabumi, namun sempat beberapa tahun sekolah SMP tetanggaku, SMP N 43 Tasikmalaya. Namun pindah kembali ke Sukabumi.

Tapi toh selama aku bersekolah, aku merasa tak pernah bertemu dengan dia. Padahal SMP kami sangat berdekatan. Sempat pula aku tanyakan, mengapa orang tuanya tak pernah menengok dan menghubungi, namun dia selalu mengalihkan pembicaraan.

“Aku udah biasa sendirian kok, Ma, dari kecil.”

Kali ini, sembari mencengkram pundak kananku, Ujang mengamati arah pandanganku, pada laptop. Menatap secara serius. Ujang berusaha mencuri sesuatu yang menyebabkan aku masih terdiam. Tak menjawab pertanyaan darinya.
           
        “Ma. Kok bisa sih kamu kaya gini terus,” ungkapnya, mencoba prihatin.
        
     Aku masih terdiam. Seolah tak ingin menyadari kehadiran Ujang. Melihat diriku tak merespon kembali, nampaknya Ujang semakin bosan. Dia memilih untuk menghindar, berjalan menyusuri ruang tamu, menuju kamar ‘bobotoh’ miliknya.

            Aku masih terus terdiam. Mematung lebih tepatnya.

Saat itu, tak ada kabar kematian maupun kecelakaan. Tak ada kehilangan barang-barang berharga meski aku sering teledor menyimpan. Tak ada pesan ancaman yang membuat diriku ketakutan. Hanya, peristiwa yang sangat menghentak dan menyakitkan diriku saat itu, tidak lain adalah kalimat “your account has banned”.

“Siaaallll.. Sia-sia sudah kerja kerasku berbulan-bulan ini!”

Google Adsense mencabut akun milikku. Padahal untuk mendapatkan akun tersebut, aku sudah mengobankan banyak waktu. Semuanya, bahkan keluarga. Kedua tanganku menghentak keyboard yang ada di depanku. Menekan keras deretan huruf atasnya. Menghimpit mereka dengan sangat kencang, sampai beberapa huruf terkelupas dari kandangnya. Namun, sebelum aku melemparkan setumpukan mesin pembuat huruf tadi ke tembok, tangan Ujang segera menahanku.

“Ma.. Rama, Istigfar Ma, Istigfar...” ucapan yang sempat menghentikan tingkah bodohku, meski tetap saja tak kuhiraukan saja dia.

Aku lebih memilih menundukan kepala. Mengapit kedua kakiku dengan pelukan tangan. Saat itu, aku merasa malu dan benar-benar hancur. Selalu terdapat kata-kata yang terus membayangi.

Akuilah Rama. Saat ini kamu adalah lulusan terbaik yang paling memalukan. Sampai saat ini, kau hanya menjadi pengangguran. Payah dan selalu gagal dalam usaha.

Aku memejamkan mata. Tidak untuk menangis. Bukan sikap seorang lelaki sejati. Pejaman mata yang membutakan pandangan. Aku melayang, terus melayang. Saat itu, aku berusaha mengingat-ingat, kapan terakhir kali aku merasakan kegagalan seperti ini. Ujang masih mengawasiku cukup dekat.

Ya, aku harus mengingat. Aku harus mengingat lagi. Kapan aku merasakan kehancuran, dan menangis untuk terakhir kali. Aku membutuhkan imajinasi itu, agar aku mengerti. Caraku untuk selalu bangkit kembali.

“Jang, bisa kamu pergi dulu dari sini!” pintaku, tegas. Meski wajahku tetap tak menoleh padanya.

“Yaudah, tapi kalau kamu ada butuh apa. Panggil aja.”

Sesaat setelah itu terdengar suara hentakkan pintu kamar. Aku tahu dia agak kesal. Ujang memilih untuk menghindariku lagi.

***

Sejak kecil, aku sudah sering menuliskan catatan harian. Ingat! catatan harian, bukan diary. Sempat saat SMP aku diolok-olok menjadi lelaki setengah matang, karena aku pandai menulis diary. Itulah alasan mengapa aku tak mau catatan harianku, disebut diary.

Tanganku merogoh loker meja. Seingatku aku menyimpan catatan lamaku itu di sana. Juga tentunya beberapa foto masa kecilku. Kejadian yang pasti kuingat adalah, kejadian paling memalukan pada saat kelas III SD. Saat kenaikan kelas berlangsung, sekolah seperti biasa selalu mengadakan samen. Saat itu, aku tak terlalu paham dengan peringat.

Saat guruku memanggil beberapa temanku sebagai juara 1,2 dan 3, namaku tak ada. Namun, aku terlampau terobsesi membawa sebuah piala.“Juara 1 Berhak untuk piala.” Meski namaku tak disebut, aku tetap memaksa naik ke panggung. Beberapa guru yang melihat menyuruhku untuk turun. Aku menggelengkan kepala.

Melalui michropone, aku mendengar beberapa dari guru memanggil ibuku, untuk membawaku pergi dari atas panggung. Ibuku sedang tak ada. Aku justru semakin berontak. Aku berdiri semakin paling depan, terdepan. Langsung berhadapan dengan pak Kades berkumis lebat. Aku tak ingin turun tanpa piala! Titik.

Semua penonton bergemuruh, terkikik-kikik melihat tingkah bodohku. Untungnya, pak Kades dengan baik hati memberi kode kepada para guru untuk membiarkan diriku mendapatkan itu. Aku berhasil membawa piala pertamaku. Piala yang membuat orang tuaku malu, memiliki anak sepertiku. Sejak saat itu, aku belajar lebih giat. Sampai aku benar-benar berprestasi. Benar-benar Juara, dengan piala juara 1 yang berhak untukku. Berlanjut sampai pada tingkat perguruan tinggi, aku mendapatkan nilai tertinggi dari ribuan mahasiswa.

Sempat aku tak meraih peringkat terbaik, pada saat SMP. Aku dikalahkan oleh seorang wanita satu kelas. Namanya, Fitri. Dia wanita baik dan pandai bergaul. Aku masih ingat bagaimana dia sangat pandai memakai hijab, dia terlihat begitu cantik. Paling cantik satu kelas. Sedang menurutku, hal yang paling menarik darinya sekaligus membuat cowok lain mengurungkan niat menaksir dia; Fitri adalah wanita pemberani. Aku menaruh hati, padanya.

Aku sempat menyatakan cinta untuknya, namun ditolak. Dia malah menceramahiku. Saat itu, aku sempat menghujat dia sebagai terlalu sok alim. Aku benar-benar sakit hati dengannya. Aku merasa ingin menghacurkannya.

Sampai mengingat hal itu....

Kepalaku tiba-tiba merasa pusing. Saat memijat kepala, aku terdiam sejenak melihat bekas luka di tanganku. Seakan-akan aku dipaksa untuk mengingat sesuatu.

Mengingat peristiwa itu...

***

Itulah saat aku melakukan dosa yang takkan pernah termaafkan. Baik oleh manusia maupun Tuhan. Wajar jika aku pantas dikutuk dengan kegagalan.

Saat perjalanan pulang sekolah, aku dipalak oleh tiga orang pemuda. Seingatku, salah satu mereka sudah terlihat paruh baya. Saat itu, dia sedang sangat mabuk berat. Mereka memaksaku memberikan uang. Aku sangat takut, namun memang sedang tak membawa uang. Mereka mengirimkan tiga bogem mentah tepat di kedua pipiku. Sakit sekali rasanya. Saat itu, bahkan aku diancam akan dibunuh.

Suasana tempat itu sepi. Tak ada orang yang berlalu lalang. Kecuali Fitri, dia kebetulan lewat dan melihat kejadian itu. Dan tanpa kusangka, itulah saat-saat terakhir aku melihatnya.

Saat aku diajari tentang ketulusan menolong teman dan orang-orang yang kita cintai. Bahkan jika nyawa adalah taruhannya.

Fitri melemparkan sebuah batu besar kepada tiga pemuda tersebut. Kedua pemuda lain sempat menghindar, namun tidak dengan lelaki paruh baya yang sedang mabuk berat itu. Dia terbanting, dan bersimbah darah.

Goblooooog, diberik siah ku aing.” Aku akan mengejar kamu!

Segera mereka melepaskanku, beralih mengejar Fitri. Saat itu, aku melihat Fitri tersungkur. Sebelum sempat melawan, para pemuda menangkapnya dan menamparnya. Terdengar sekilas lolongan Fitri, namun aku menutup telinga. Fitri pingsan. Pemuda mabuk itu nampaknya terangsang dengan kemolekan dan kecantikan Fitri. Dia ingin merasakan tubuhnya. Dia menyuruh kedua pemuda itu membawa Fitri. Ke tempat sepi. Sedangkan aku, lebih memilih bersembunyi.

Salah satu dari ketiga orang tersebut sempat memastikan, bahwa aku tak melihat Fitri akan dibawa oleh mereka. Dia mungkin sudah kebelet birahi, sehingga ceroboh tak mengecek sampai ke tempat persembunyianku. Akulah satu-satunya saksi mata saat kejadian itu.

Jantungku berdebar berlipat-lipat. Tanganku bergetar, tersetrum. Aku tak bisa mengendalikan cucuran keringan yang mengalir deras di tubuhku. Juga air mata kecengengan, mulai meleleh dari kedua kantung mataku. Aku panik, kebingungan.

Aku berhutang budi kepada Fitri, karena dia telah menolongku. Namun, jika aku berteriak, warga akan berdatangan dan menyelamatkan Fitri. Tapi, pemuda tersebut pasti bisa kabur, dan mencariku lagi. Mungkin saat itu mereka akan benar-benar membunuhku.

“Tapi, aku benar-benar takut, mereka membunuhku.,” gumamku.

Jika aku berdiam. Aku bisa berlari menghindari mereka. Aku aman. Aku dapat bisa membalas sakit hatiku. Sejak awal, bukankah aku sudah berniat membuatnya hancur, karena dia menolakku dan belagak alim. Dan paling terpenting adalah, aku tak memiliki lagi saingan di kelasku.

Aku memutuskan untuk berlari, sekencang-kencangnya. Namun, pada pelarian itu, sebuah bayangan memaksa hadir dalam pikiran:

Aku selalu terbayang wajah Fitri. Dia yang meronta-ronta saat diperkosa oleh ketiga pemuda tersebut. Fitri masa depannya hancur begitu saja, karena berusaha menyelamatkanku. Kenapa saat itu dia menolongku. Seandainya dia tidak berani untuk melemparkan batu dan lebih memilih berteriak. Aku yakin dia selamat.

Atau, seandainya saat itu, aku memilih berteriak. Aku pasti menyelamatkannya. Kenapa aku harus berlari. Sampai aku tak menyadari banyak orang di sekitarku. Sampai aku terjatuh tersungkur.  Orang-orang menolongku lagi, tapi aku tak sempat meminta warga menolong Fitri. Mengapa aku hanya berfikir tentang sakit hati dan balas dendam. Fitri tak ada. Dan, demi juara 1 aku menghancurkannya.

Dimana Fitri, saat ini? Apa kabarnya?

“Arrgghhhhhhh! Bodohnya aku saat itu.”

***

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk terus berusaha mencari Fitri. Aku harus meminta maaf. Aku yakin, penerimaan maaf darinyalah yang akan melapangkan kelancaran masa depanku. Kepada pak Imron, aku bertanya tentang jejak terakhir dia di sekolah. Sebagai walikelas saat itu, aku harap dia tahu banyak. Dia memberi informasi bahwa, Fitri pernah berpamitan ke rumahnya untuk pindah sekolah ke Kalimantan. Sayang, pak Imron tak mencatat nomor kontaknya saat itu.

Sialnya, tak ada seorang pun teman sekelas yang tahu dimana dia tinggal saat itu. Dari temanku Fafa, aku mendapatkan cerita aneh. Fafa berkisah, bahwa selama itu Fitri memang tak memiliki tempat tinggal tetap. Dia menitip menginap di rumah seorang nenek. Namun, dia mendengar, nenek tersebut sudah meninggal sekitar 8 tahun lalu. Kabarnya, nenek tersebut terjatuh ke jurang samping rumahnya, karena sering dihantui oleh sosok wanita remaja yang pernah tinggal dengan rumahnya: Fitri.

“Alah, aku gak akan percaya kaya gituan Fa,” ucapku.

***

Sebulan aku mencari keberadaan Fitri. Namun tak menemukan hasil. Aku pasrah. Namun, seketika Ujang datang mencariku untuk berpamitan. Katanya, dia harus pergi saat itu pula. Ayahnya sedang sakit parah dan butuh biaya banyak. Dia harus pulang dan membawa biaya.

“Bentar Jang. Sebelum kamu pergi tolonglah cerita dulu sebentar.” Aku kemudian menyuruhnya duduk berhadapan denganku.

“Selama ini, kamu memang selalu tertutup sama aku. Tapi tolong Jang, kali ini, ijinkan aku aku bisa membantu kamu,” ucapku.

Tak kusangka, seketika dia meneteskan air mata. Ujang bercerita, dibalik ketertutupan sikapnya kepadaku, ternyata dia ingin menyembunyikan sesuatu. Sebuah harkat martabat tentang keluarganya. Dia bercerita bahwa ayahnya adalah mantan pencuri. Akhir-akhir ini, dia selalu dihantui arwah seorang wanita remaja, sekitar SMP. Ayahnya selalu berteriak-teriak tak jelas. Mengigatu sendiri. Ayahnya sudah divonis gila.

Namun, sesaat sebelum ayahnya bertingkah aneh seperti itu, dia mengaku bahwa, dahulu saat rumahnya pindah ke Tasikmalaya, ayahnya pernah memperkosa wanita remaja SMP. Katanya berasal dari sekolahku. Kejadian itu sekitar 10 tahun lalu. Saat itu dia sedang mabuk sehingga tak mengingat jelas wajahnya. Ditambah lagi, setelah itu mereka langsung pindah lagi ke Sukabumi. Adapun saat ini, Ujang sebenarnya sangat membutuhkan pertolonganku, namun mengurungkan niatnya, karena melihat diriku juga seperti sedang tertimpa banyak masalah.

“Terutama menemukan informasi wanita yang sempat diperkosa oleh ayahku, Rama. Barangkali, kamu sempat mengenal wanita itu, bapakku ingin sekali meminta maaf kepadanya.”

Saat itu, aku langsung teringat Fitri. Teringat semua peristiwa itu.

Remuk rasanya hatiku. Aliran darahku berhenti. Mulutku menganga. Aku mematung. Sedangkan Ujang masih menangis merengek memintaku menolongnya.

Dia tidak tahu. Jika dia memaksaku untuk bertemu ayahnya, aku tak segan-segan akan mencekiknya, sampai mati. Tapi, Ujang temanku. Dialah orang paling dekat denganku. Dia yang sering membantuku selama ini. Tapi kenapa harus dia yang terlahir dari anak seorang keji yang menyebabkan semuanya hancur. Ayahnya terpaksa memalakku karena butuh untuk membeli minuman. Sayang, Fitri terlalu berani untuk membelaku. Dia harus rela terenggut masa depannya, karenaku.

Untungnya, saat ini adalah bulan Ramadan. Rasa lapar dan haus telah menekan hawa nafsuku. Rasa Nafsu yang bila terlampiaskan, akan menjadikan diriku lebih hancur lagi. Kali ini, aku harus mengakui, semuanya tetap salahku. Aku tak ingin mengulangi lagi kesalahanku. Ujang tidak salah.

Maka aku putuskan! Aku akan tetap membantu dan membela Ujang. Meski dia anak dari Ayah yang menghancurkan orang yang kucintai. Meski harus kukorbankan nyawaku untuknya. Aku berani.

“Ya, semua sudah jelas sekarang. Aku bisa bantu ayahmu waras kembali. Tapi nunggu buka aja dulu ya,” ucapku, tegas!

Ujang terheran-heran dengan sikapku.
Surakarta, Juli, 2015
*Mahasiswa Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Lahir di Tasikmalaya, 18 Januari 1994. Saat ini berprofesi sebagai blogger.

Related Posts:

Justru NU yang Sudah Menjadi Muhammadiyah*

Oleh: Irfan Ansori*

Tulisan ini bukan untuk memperkeruh persoalan, hanya saja memang opini yang berkembang di masyarakat harus seimbang seiring dengan munculnya artikel-artikel ‘sampah’ serta memperkeruh suasana. Tentunya, artikel yang akan kami muncul sebagai reaksi atas berbagai gugatan tentang jatidiri Muhammadiyah. Pemelintiran sejarah tentang KH. Ahmad Dahlan sampai dengan tudingan bahwa Muhammadiyah sekarang bukanlah Muhammadiyah. Melainkan justru NU. "Akuilah!" godanya.



Pastinya kita lebih memilih agar kedua ormas Islam ini berada pada jalur yang benar: bekerjasama untuk mengurus umat, dakwah Islam yang semakin meluas, serta menciptakan perdamaian. Namun, hal yang sangat menjengkelkan adalah ketika ada sebagian oknum dari kita sibuk untuk ‘nguri-nguri’ hal-hal yang justru sensitif namun dalam perspektif yang sangat subjektif. Sangat disayangkan, memang.

Tentu yang paling kentara saat ini adalah, klaim bahwa Ahmad Dahlan adalah seorang NU. Lebih tepatnya, mengamalkan ajaran fiqh sebagaimana NU: tarawih 23 rakaat, tahlilah, dan sebagainya. Mereka lupa bahwa di balik itu terdapat premis-premis umum yang lebih penting, fundamental, serta berbeda dengan Nahdlatul Ulama.

Dalam persoalan fikih, Muhammadiyah harus diakui lebih dinamis daripada NU. Muhamamadiyah tidak segan untuk bertentangan dengan para pendahulunya karena hal ini berakitan dengan permasalahan fiqih. Sekali lagi, ini hanya persoalan fiqh, sebagaimana hukum yang berlaku bahwa fiqh itu produk ulama yang tentunya juga tidak harus kita menaatinya sepanjang waktu. Jika terjadi perubahan, maka tidak menutup kemungkinan fiqh dapat berubah. Kita tentunya mengenal ‘kisah’ imam Syafi’i dengan Qaul Qadim serta Qaul Jadid-nya.

Kemudian, warisan yang diterima oleh Muhammadiyah dari K.H Ahmad Dahlan adalah bukan produk fiqh-nya, melainkan spirit serta nilai-nilai pembaharuan yang ditularkannya. Misalkan, pada gerakan Al-Maun. Muhammadiyah sangat respect dengan laku dan progresifitas Ahmad Dahlan dalam memaknai surat Al-Maun tersebut. Oleh karenanya, proyek Al-Maun masih senantiasa dijalankan tentunya dengan metode dan cara yang adaptif dengan perubahan jaman.

Budaya pada Muhammadiyah tidak mengkultuskan para tokoh-tokohnya. Istilahnya, tidak ada darah biru di Muhammadiyah. Siapapun terbuka untuk berpendapat dan peluang menjadi pimpinan sangat terbuka. Kita tunggu saja Muktamar ke-47 ini, bahwa dari nama-nama calon terkuat bahwa rata-rata tidak memiliki keturunan langsung dengan Ahmad Dahlan, bahkan para pimpinan Muhammadiyah sebelumnya. Lebih jauh, implikasi yang dihasilkan dari sikap tidak mengkultuskan adalah: tidak ada legitimasi ajaran Muhamamdiyah yang bernada: ‘masa KH.Ahmad Dahlan salah’, ‘kan AR. Fakhruddin itu ulama besar’. Tidak seperti itu, melainkan sejauh mana pendapat mereka sesuai dengan tuntunan Alquran dan Sunnah.

NU itu Muhammadiyah

Jika Ali Sadikin melihat peluang kesamaan Muhammadiyah dengan NU dari segi fikih, maka kami akan melihat hal tersebut dari perspektif lain: NU sekarang adalah Muhammadiyah.

Paling kentara adalah, bahwa saat ini sudah tidak ada lagi penolakan dari NU terhadap sekolah Islam modern: mencampurkan antara agama dan ilmu umum dalam kelas yang berbangku. Bahkan sekarang NU sedang gencar-gencarnya ‘meniru’ Muhammadiyah untuk membangun sekolah modern. Padahal, masih ingat bagaimana Ahmad Dahlan harus rela dicap sebagai kafir, hanya karena membangun sekolah Islam bermeja, berkursi, berbangku, bercelana. Pada waktu itu, hanya sekolah kristen yang muridnya menggunakan celana, kelas dilengkapi meja, kursi, bangku. Sedangkan pendidikan umat Islam (NU), hanya mengenal pendidikan pesantren: lesehan, sarungan, tidak boleh ada ilmu umum. Ingat! Ahmad Dahlan pernah dikafirkan atas hal ini. Ingat! Pelopor sekolah Islam modern adalah Muhammadiyah.

Bahkan, jika saya melihat prosentasi mahasiswa dari warga NU (baik ideologis maupun tidak) di kampus Muhammadiyah, itu lebih banyak daripada mahasiswa yang berasal dari warga Muhammadiyah. Geliat warga-warga NU untuk berpendidikan modern semakin besar sehingga justru ‘menghidup-hidupi Muhammadiyah’, dengan berkuliah di Amal Usaha Muhammadiyah secara otomatis, segala biaya yang dikeluarkan adalah untuk menghidupi pula dakwah Muhamadiyah.

Tidak ada lagi yang kemudian membuat orang menolak gerakan filantropis Muhammadiyah yang bersifat kemanusiaan. Padahal, pada saat pertama kali mendirikan Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), Muhammadiyah ditentang karena menggunakan alat-alat kesehatan modern (baca: alat-alat kafir) dan mempekerjakan dokter selain Islam. Hal tersebut dinyatakan sebagai hal yang haram dan merusak akidah umat Islam. Lebih baik pergi ke dukun dan memberikan sesajen untuk penghuni tertentu agar menghilang penyakitnya. Nah lagi. Apa mau dikata sekarang IAIN (yang kita tahu sendiri selalu harus dikuasai oleh NU) juga gencar-gencarnya untuk mendirikan kedokteran.

Pada intinya, rasionalitas Muhammadiyah dalam memahami spirit Islam sekarang disepakati oleh NU. Bukan hanya tentang mendirikan sekolah, rumah sakit, dan sebagainya, melain kenyataan bahwa hal tersebut merupakan pemahaman agama yang harus ditumbuhkan di Indonesia. Bahwa Islam harus bergerak lebih progresif dan mengelola isu-isu yang lebih produktif, dibandingkan harus bergelut kepada persoalan fiqih yang penyelesaiannya hanya berujung kepada ego masing-masing.

Kalau kita boleh jujur. Sebagian orang-orang Muhammadiyah pun sekarang tersaingi oleh anak-anak Muda NU yang lebih progresif dalam ‘pendidikan serta memahami Islam modern. Meski di sisi lain, hal tersebut juga menjadi sebuah kebahagiaan, karena dakwah Muhammadiyah kepada NU dahulu untuk tidak menolak pendidikan Modern sekarang menemukan legitimasinya. NU mungkin sudah menjadi lebih Muhammadiyah dari Muhammadiyah.

Sekali lagi, kita tidak ingin mengungkit-ungkit perbedaan. Hanya saja, saya sepakat dengan Robby Karman bahwa faktor sejarah juga sangat menentukan paradigma NU dan Muhammadiyah. NU lebih memilih faktor wahabi sebagai alasan pendiriannya, sehingga tidak mengherankan jika Islam Nusantaralah yang menjadi isu utama. Sedangkan Muhammadiyah, lebih kepada kolonialisme, sehingga tugas Muhammadiyah bukan pada isu keagamaan, melainkan kepada kondisi sosial progresif, seperti ketertindasan dan sebagainya.

Sekali lagi, isu-isu yang tak produktif seperti ini harus dihindari kembali. Karena sudah tidak mempan lagi klaim Ahmad Dahlan sebagai orang NU hanya dari ‘frame’ dan ‘budaya’ NU dalam memahami gerakannya. Sedangkan Muhammadiyah pun dalam frame gerakan tentunya akan menuding NU sudah menjadi Muhammadiyah (seperti yang saya lakukan), karena secara pola pengembangan dakwah semakin sama dengan Muhammadiyah. Jadi, takkan pernah ada habisnya.

Terakhir, mari pada bulan Ramadan ini, dengan pemahaman masing-masing, Allah SWT memberikan pahala yang sebesar-besarnya. Karena tidak mungkin Allah membedakan pahala seseorang karena membela Muhammadiyah atau NU. Melainkan berdasarkan kualitas berpuasanya masing-masing.


*Kader IMM Sukoharjo

Related Posts:

Muhammadiyah Menuju Era Nokia?


Oleh : Irfan Ansori*
*Mahasiswa Fakultas Agama Islam, UMS

Tulisan ini barangkali, merupakan benar-benar pengalaman subjektif kami beradasarkan studi kasus di lapangan. Ya, ini fenomena real dari rekaman indrawi kami bersama dinamika Muhammadiyah di lapangan. Tulisan ini mungkin nantinya, hanya merekam beberapa pemikiran yang ada di grassroot, kemudian mencoba untuk disusun dalam sebuah isu besar, tentang dinamika persyarikan yang kiranya harus menjadi sorotan.

Muktamar ke-47 Muhammadiyah


Mungkin juga, gejala ini hadir di cabang serta daerah Muhammadiyah lainnya, bahkan sudah sejak lama. Mumpung, momentum tahun 2015 ini terdapat satu agenda tertinggi Muhammadiyah, yakni Muktamar ke-47 di Makassar yang Insya Allah akan diselenggarakan pada 4-7 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan. Penulis ingin sama-sama mengajak terlebih dahulu, untuk berdoa semoga acara akbar Muhammadiyah tersebut, diselenggarakan dengan lancar dan menghasilkan keputusan-keputusan yang progresif dan mencerahkan. Amien!

Mau tak mau. Muktamar kita pada kali ini, harus menghadirkan sebuah evaluasi besar-besaran, agar ke depan Muhammadiyah tetap bisa survive dalam memperjuangkan dakwah Islam. Kiranya, jangan selalu menutup-nutupi kekurangan hanya demi mempertahankan program kerja warisan, keterpaksaan politik, dan ego yang memecah belah umat. Muhammadiyah memang harus tetap mempertahankan nilai serta spirit yang diwariskan oleh KH. Ahmad Dahlan: spirit pembebasan dari teolog Al-Maun; spirit amal yang menjadi progresifitas Muhammadiyah; spirit keikhlasan yang mempermudah jalan dakwah.



Meski nanti, pada ‘cara dan metode’ pengaplikasiannya, kita sah-sah saja untuk berbeda dengan para pendahulu. Karena bagaimanapun, konteks perjuangan saat ini sudah beralih sedemikian rupa, cepat, dinamis. Maka, Muhammadiyah wajib melakukan inovasi, pembaharuan demi perjuangan menegakkan eksistensi dakwah Islam berkemajuan.


Obrolan-Obrolan tentang Muhammadiyah


Kami coba awali tulisan ini, dari obrolan kami bersama ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) pusat, Dr. Phil Ahmad Norma Permata.MA. Kebetulan, beliau satu almamater di perkaderan pondok Hajjah Nuriyah Shabran, sesaat setelah mengisi acara dari LPCR yang diselenggarakan di UMS Surakarta.

Obrolan tersebut pada awalnya, hanya berbicara seputar konsep perkaderan yang sedang dirancang oleh beliau. Kiranya pula, hal apa saja yang bisa dibantu oleh para angkatan Muda, mewujudkan konsep tersebut. Seiring waktu berjalan, obrolan kami justru beranjak pada sebuah guyonan pertanyaan: “Mengapa, di mana-mana kita mendapatkan pengurus Muhammadiyah selalu kalangan “Tua?” Lontaran pertanyaan ini, sesuai dengan pengakuan beliau, bahwa saat berkunjung ke cabang-ranting di berbagai daerah Nusantara, selalu mendapati pimpinan-pimpinan Muhammadiyah dari kalangan sepuh.

Jawaban kami, tentunya akan selalu berlandaskan pada sistem perkaderan. Toh, Muhammadiyah sudah memiliki berbagai organisasi otonom yang menjadi wadah bagi segmentasi masyarakat masing-masing: Pelajar (IPM), Mahasiswa (IMM), Pemuda (PM/NA), serta berbagai ortom lainnya yang pengklasifikasiannya lebih kepada minat dan bakat: Tapak Suci dan HW. Kami kira itu jawaban yang paling tepat.

Tetapi kemudian, salah satu dari kami memberi jawaban yang sangat unik dan out of the box: “Pimpinan Muhammadiyah memang wajib dari kalangan Tua, karena hal tersebut merupakan warisan dari KH. Ahmad Dahlan. Lihat saja, di mana-mana foto Kiai Ahmad Dahlan yang dipajang, selalu saja foto pada saat masa tuanya,” paparnya dengan semangat. Tentu saja, hal tersebut kami anggap guyonan. Mengingat pula, sangat wajar memang jika pimpinan Muhammadiyah diduduki oleh angkatan yang sudah sepuh, karenanya terdapat ortom-ortom yang terkumpul dalam Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), sebagai wadah bagi para anak muda.

Foto KH. Ahmad Dahlan Pada Masa Tua. Jarang Sekali kehadiran sewaktu masih Muda.


Namun daripada itu, perkataan teman saya ini juga ada benarnya. Karena bagaimanapun, terkadang kita terlampau salah karpah dalam ‘mengikuti’ ajaran KH. Ahmad Dahlan. Pada akhirnya, kita bersikap terlalu kaku dalam hal-hal yang berkaitan dengan “metode” dan “cara” dalam mengimplementasikan program berkaitan dakwah Muhammadiyah, namun justru melupakan nilai-nilai dan spirit yang diwariskan oleh KH. Ahmad Dahlan.

Spirit (Me-Nokia-kan) Muhammadiyah


Pada tulisan ini, kami ingin ungkapkan sebuah fenomena pada dinamika Muhammadiyah di daerah Boyolali Jawa Tengah, yang (dalam perspektif kami) mempunyai dinamika “unik”, namun sangat “fundamental” untuk diangkat. Meski begitu, bukan berarti hanya pada daerah Boyolali saja yang mengalami fenomena tersebut, melainkan juga di berbagai daerah yang tentunya, harus kita dalami kembali dan dikaji sehingga mendapatkan sebuah solusi yang universal.

Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam besar di Indonesia. Sengaja kami mengilangkan prefix “ter-“, karena dalam penelitian terakhir menyebutkan, populasi warga Muhammadiyah—terlepas dari objektivitasnya—di Indonesia hanya  sekitar 7 persen. Meski begitu, saking besarnya organisasi Muhammadiyah ini, tidak ada yang kemudian percaya bahwa: Muhammadiyah takkan pernah jatuh dan hilang dari Indonesia.

 Muhammadiyah Organisasi Besar di Indonesia
Logo Resmi Muhammadiyah yang Berfilosofi Matahari: Siap Menyinari


Seperti yang pernah diungkapkan pula, oleh Prof. Ayzumardi Azra pada seminar pra-Muktamar-47 yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang sudah mengakar di Indonesia, baik dalam sejarah, pemikiran, maupun budaya. Sulit sekali kiranya untuk dapat ‘lenyap’ dari Indonesia. Tentunya hal tersebut juga diamini oleh para aktivis Muhammadiyah di seluruh Indonesia.

Nah, kali ini pandangan seperti itulah yang coba digugat oleh salah satu aktivis pemuda Muhammadiyah di Boyolali tersebut, saat kami berbincang dengannya dalam sebuah kesempatan. Dengan pertimbangan etika, kami tidak mempublikasikan nama yang bersangkutan karena ‘mengaku’ tidak ingin merusak ketenangan Muhammadiyah. [i]

Dia sangat menyayangkan berkembangnya asumsi kemapanan tersebut di kalangan Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak menyadari bahwa sekarang ini, dunia cepat sekali berubah sedangkan respon Muhammadiyah masih sangat lamban, karena mungkin merasa besar dan digdaya. Sebagai efeknya, Muhammadiyah (menurutnya) mengenyampingkan—untuk tidak dikatakan—lupa akan proses kaderisasi. Ada, tapi tidak/belum maksimal. Hanya sekedar formalitas. Lantas kemudian, orang-orang yang berada dalam Muhammadiyah, hanya sibuk berlomba-lomba untuk mempertahankan “kuasa” pimpinan masing-masing. Bahkan, sebagian mereka tidak ingin “popularitas” mereka di Muhammadiyah tersaingi, baik oleh organisasi lain maupun kader-kader muda Muhammadiyah sendiri.

 Padahal, kader-kader muda merupakan aspek yang paling penting, bagaimana Muhammadiyah menciptakan produk yang mampu bersaing dengan perkembangan zaman. Produk yang masih bisa diberikan inovasi dan rangkaian-rangkaian baru. Semua bisa diciptakan jika tentunya Muhammadiyan terus menerus mendukung para kader-kader muda, untuk senantiasa "cepat" memiliki jatidiri: menjadi kader dan pejuang Muhammadiyah yang sejati. Itu.

Churofat Kuasa


            Kuasa, wanita, dan harta memang seringkali mudah menjadi fitnah. Sebagaimana disebutkan dalam Qs. Ali-Imron (3): 14. Meski dalam hal ini, kami melihat memang ada persoalan besar di Muhammadiyah, lebih terkait dengan “kuasa”. Melihat akibatnya, kader-kader Muhammadiyah muda ditekan supaya tidak bisa berkembang, menyaingi para pimpinan Muhammadiyah yang sudah mapan di persyarikatan. Yang paling memprihatinkan adalah, jika pada saat Muhammadiyah “muda” membuat gerakan baru, justru disebut sebagai “pengkhianat persyarikatan”.

Dinamika dalam Pimpinan itu Harus disikapi dengan Musyawarah dari Semua Pihak


Itulah sekelimut dinamika akut yang dialaminya pada Muhammadiyah. Dia sangat khawatir jika hal tersebut terus menerus dipelihara, maka virus tersebut akan semakin menyebar dan membahayakan Muhammadiyah. Muhammadiyah bisa hilang ditelan bumi, karena tiada lagi kader yang melanjutkan perjuangannya.

Dia pun memaparkan, pada akhirnya banyak Pemuda Muhammadiyah Boyolali yang akhirnya membuat gerakan diaspora tersendiri. Mereka lebih memilih untuk membuat organisasi semacam lembaga sosial masyarakat (LSM) bernama Arsada. Organisasi yang fokus tentunya pada pergerakan sosial-keagamaan. Kegiatan-kegiatannya lebih terpusat kepada semangat ber-Al-maun. Prinsip mereka, jika semua diniatkan berdakwah, maka pada saat itu pula kita bermuhammadiyah. Meski begitu, kegiatan tersebut nyatanya tetap tidak mendapat restu oleh para pimpinan Muhammadiyah setempat. Barangkali, karena ada sebagian yang takut tersaingi popularitasnya gerakan yang dibuat oleh kaum muda tersebut.

Pada tulisan ini, kami bukannya tidak mau untuk ber-tabayyun. Hanya saja, mengingat gerakan Arsada ini sudah sangat besar di daerah tersebut, namun jarang sekali menampakkan simbol-simbol Muhammadiyah. Nampaknya memang bisa untuk dijadikan legitimasi argumentasinya. (Untuk info lebih lanjut tentang Arsada tersebut bisa mengunjungi website ini www.arsada.or.id). Namun begitu, keprihatinan kami yang semakin berlipat ganda adalah, setelah kami mendengar pula dari beberapa sumber bahwa gerakan para pemuda Muhammadiyah tersebut, sudah “berideologi” organisasi lain—untuk menyebutkan sebagian, adalah Majelis Tafsir Alquran (MTA), juga gerakan-gerakan tarbiyah. Semoga saja ini keliru.

Meski begitu, saya harus tegaskan! Tulisan ini bukan untuk mendiskreditkan Muhammadiyah “tua” maupun “muda”. “Tua” pun tentunya, tidak sekedar merujuk kepada umur, melainkan lebih besar kepada pemikiran seseorang. Begitupula dengan pemikiran “muda” yang bisa justru, dimiliki oleh orang-orang yang sudah berusia lanjut.


Kecemburuan Kader Muda


Kita tentu, sangat dan masih membutuhkan senior—dengan catatan—“yang peduli” dengan gerakan kader muda. Kami ingat buku Pak AR: Mubaligh Ndeso yang menceritakan bahwa, Pak AR seringkali memberi kesempatan kaum muda untuk menjadi imam salat di kos miliknya, meski terkadang bacaannya “ancur”. Prinsip pak AR, kaum muda harus tampil! Itulah yang dirindukan oleh para aktivis Muda dari para pemimpin di Muhammadiyah.

Angkatan Muda Muhammadiyah yang Siap Meneruskan Perjuangan


Kami pun terkadang sangat “cemburu” dengan gerakan para aktivis muda di “tetangga” kita. Para aktivis muda sangat didukung untuk tampil ke depan, baik dalam kancah intelektualitas maupun politik. Jika kita (tidak) ingin disebut mengungkit-ungkit, barangkali kita bisa melihat jatah menteri yang nihil dari kader-kader muda Muhammadiyah. Mereka (pada kader) seharusnya mampu untuk disekolahkan, dididik, serta didampingi. Barangkali, sudah saatnya kita mengakui kekurangan Muhammadiyah yang satu ini.

Juga setelah kami berdiskusi dengan aktivis IMM PC AR Yogyakarta UMY yang membawa kesimpulan: bahwa masa depan Indonesia bukan milik kader Muhammadiyah, melainkan kader “tetangga”. Hal ini, tentu bercermin dari kader-kader mudanya yang progresif dan berdiaspora dalam berbagai elemen sosial di Indonesia.

Kembali lagi pada poin pembicaraan kita bahwa, Muhammadiyah harus mawas diri bahwa, suatu saat persyarikatan yang kita cintai ini mampu runtuh dan hilang dari Indonesia. Melalui kebobrokan internal, kurangnya pembaharuan, serta invasi dari gerakan luar yang semakin agresif. Karenannya, tidak usah mengherankan lagi, jika pada suatu kecamatan (baca: cabang Muhammadiyah), warga Muhammadiyah akan habis. Tak tersisa.


Muhammadiyah Memasuki Era Nokia


Kita tentu masih ingat. Fenomena pada tahun 2000-an, berbicara handphone di Indonesia seolah-olah harus selalu tertuju kepada satu merk: Nokia. Banyak kalangan yang kemudian menyebutkan bahwa, pasar Nokia di Indonesia takkan ada yang menandingi dan takkan mungkin lenyap dari peredaran di Indonesia. Nokia adalah perusahaan handphone yang paling digdaya dan tak tertandingi omzet penjualannya. Pada waktu itu.

Nokia: Dulu Berjaya, Lalu Tenggelam, Namun Mampu Bangkit Kembali


Namun seiring waktu berselang, pada akhirnya kita menyaksikan sendiri bahwa, pada 2011 semenjak peluncuran handphone Blackberry oleh perusahaan di Kanada, penjualan HP Nokia mengalami kemerosotan yang begitu tajam sehingga tak lagi kita mendengar orang memiliki dan membanggakan HP Merk Nokia. Kecuali mungkin, mereka para orang tua yang memang tidak memikirkan perkembangan fashion dalam handphone. Karena tentunya sudah merasa nyaman dengan HP Nokia tersebut, dan tak ingin ribet dengan hal-hal baru.

Lihatlah fenomena tersebut! Nokia yang dulu digdaya, sekarang tak berdaya.

Kemudian, kedigdayaan Blackberry pun sirna, seiring dengan perkembangan smartphone yang merambah ke berbagai merk handphone, termasuk Nokia. Pada akhirnya, Nokia menyadari bahwa mereka perlu melakukan inovasi (baca: tajdid) dalam penjualan produk mereka, agar mereka bisa jaya kembali. Pada akhirnya, hal tersebut benar-benar terjadi. Pada 2013, Nokia mengalahkan blackberry dalam hal penjualan smartphone Nokia Lumia. Baca selengkapnya dalam Berkat Lumia,Nokia berhasil Depak Blackberry.

Dalam sejarah Islam, kita tentu sering mendengar kisah tentang peradaban Islam di Cordova, Spanyol. Bagaimana Islam berperan mengenalkan modernisasi pada Eropa, mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan sehingga berjasa mengantarkan Eropa, menuju zaman pencerahan (renaisans). Tapi, apalah yang tersisa saat ini dari Spanyol, selain bangunan dan arsitektur warisan Islam yang hanya dijadikan sebagai museum, tanpa diberitahukan bahwa terdapat karya umat Islam di sana. Hal ini, terekam sangat jelas lewat novel 99 Cahaya di Langit Eropa yang ditulis oleh Hanum Salsabila Rais dan Rangga Almahendra.

Meski mungkin, analogi yang saya bangun dengan menyamakan ranah ormas Islam dengan produk bisnis tersebut sangat jauh. Nyatanya, kita melihat dalam beberapa sisi, terdapat persamaan antara nilai, fenomena, serta tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah dan Nokia, tersebut. “Kehancuran” Nokia oleh Blackberry merupakan salah satu evaluasi yang besar bahwa, pada posisi kemapanan dan dianggap takkan ada yang menyaingi, Nokia terlalu bersantai sehingga tidak bersiap untuk meluncurkan produk-produk, yang lebih inovatif dan adaptif dengan perkembangan zaman. Hal yang sama akan terjadi pada Muhammadiyah, jika spirit, nilai perjuangan, serta kaderisasinya tidak kemudian, dijaga dengan baik.

Sedangkan, kehadiran Blackberry disambut baik oleh pasar Indonesia, meski di pasar negara tempat di berkembang (Canada dan United State) tidak terlalu diminati. Barangkali, kita bisa melihat hal ini untuk menilai gerakan-gerakan Islam transnasional yang mulai ‘laku’ di Indonesia, dan siap mengancam ‘pasar’ mainstream dari arus Islam di Indonesia (Nokia). Meski ideologi transnasional tersebut, pada negara kelahirannya, belum tentu laku.

Kemudian, bukan itu saja yang bisa jadikan sebagai pedoman. Lihat, bagaimana evaluasi yang diadakan oleh Nokia pada akhirnya berhasil kembali merebut pasar (paling tidak) dari Blackberry yang sempat berjaya di Indonesia, dengan meluncurkan produk smartphone yang lebih inovatif dan adaptif dengan perkembangan zaman: Nokia Lumia 3.


Arus Islam Mainstream di Indonesia: Muhammadiyah dan NU

Satu-satunya solusi: Pembaharuan         


Pada saat kelahirannya, tahun 1920-an Muhammadiyah adalah produk yang menarik dan hebat sehingga menarik berbagai kalangan untuk bergabung berdakwah dengan Muhammadiyah. Bisa jadi sekarang Muhammadiyah tidak menarik lagi. Terutama pasca reformasi, banyak sekali ormas-ormas Islam yang kemudian tumbuh subur, baik secara pergerakan sama dengan Muhammadiyah namun memakai nama lainnya. Sejarah, mau tak mau harus selalu terjadi.

         Suatu saat, kita bisa jadi menyaksikan Muhammadiyah tinggal sejarah. Muhammadiyah pernah ada, sekarang tidak ada. Sejarah akan terus berjalan, kita hanya tinggal memperpanjang usaha agar bisa semakin eksis bertahan. Satu hal yang paling mampu untuk bisa bertahan adalah: menyikapi perubahan.Tidak bisa kita terus-terusan menganggap Muhamamdiyah sebagai ormas besar dan memiliki massa yang banyak. Padahal, pada kenyataannya kita masih sangat tertinggal dengan ormas lain. Pada tingkat cabang/ranting kita masih keropos. Tidak mengherankan mungkin jika masjid-masjid Muhammadiyah diserobot oleh kelompok lain karena aktivitas kosong.

      Peluang mati sudah hadir. Jika Muhammadiyah mati, kita selayaknya untuk tidak selalu menyalahkan faktor-faktor eksternal, karena hal tersebut merupakan sunnatullah. Muhammadiyah tidak bisa mengatisipasi perubahan. Muhammadiyah tidak bisa ‘bersaing’ dengan organisasi lain, karena telalu gemuk dan sepuh sehingga kurang sekali dalam bergerak. Sedangkan Ormas baru masih memiliki semangat baru sehingga gampang sekali bergerak.

       Oleh karena itu, Muktamar Muhammadiyah ke-47 merupakan momentum bagi Muhammadiyah untuk melahirkan tajdid-tajdid baru dan inovatif; melahirkan produk-produk pemikiran kebangsaan yang baru; melahirkan kembali spirit-spirit dan nilai yang terkuburkan; membawa kembali misi Islam berkemajuan; menganalisa dan memperbaiki perangkat-perangkat yang rusak dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman; merencakan kembali proyek-proyek perkaderan yang akan ‘memperpanjang’ umur dari Muhammadiyah.


Kota Tempat Diselenggarakannya Muktamar Muhammadiyah ke-47


Pembaharuan yang dilakukan tentu tidak asal beda, tidak asal inovatif, tidak asal merebut massa, tidak asal mengumpulkan banyak jamaah. Karena harus tetap ada yang menjadi ciri khas dari Muhammadiyah yakni, mengutamakan kualitas keberIslaman sebagaimana yang diwariskan oleh para pendahulu. Muhammadiyah yang mungkin sudah saatnya lagi tidak melihat Indonesia sebagai ‘market’ utamanya, melainkan juga pasar luar (dunia).

Muhammadiyah harus mulai mencoba menginternasionalisasi, karena tawaran Muhammadiyah sangat dibutuhkan bagi dunia saat ini. Produk Muhammadiyah merupakan produk yang berkualitas rahmatan lila’lamin: Gerakan filantropis yang sangat maju, pendidikan yang berkualitas, kepedulian sosial yang begitu tinggi. Sebuah wajah Islam yang tentunya jika ditonjolkan kepada dunia akan menjadi wajah yang sangat menyejukkan dan memberikan sebuah oase di tengah munculnya kembali radikalisasi gerakan Islam di berbagai belahan dunia.


Terakhir saya coba kutipkan warisan kata-kata dari KH Ahmad Dahlan yang berbunyi: “Menjaga dan Memelihara Muhammadiyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Karena itu aku senantiasa berdoa setiap saat hingga saat-saat terakhir aku akan menghadap kepada Illahi Rabbi. Aku juga berdoa berkat dan keridlaan serta limpahan rahmat karunia Illahi agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh ummat manusia sepanjang sejarah dari zaman ke zaman.


Sekali Berlayar! Pantang Layar Surut Kembali. Selamat Bermuktamar ke-47 Muhammadiyah


Sekali lagi,  Muhammadiyah (pasti) harus bangkit! Selamat melaksanakan Muktamar! Untuk info mengenai muktamar bisa diupdate melalui muhammadiyah.or.id

(Jumlah Kata: 2345 Kata)





[i] Jika untuk kepentingan verifikasi hal ini, bisa menghubungi kami terlebih dahulu (085867061415)

Related Posts: